Jakarta (Panjimas.com) – Amien Rais dalam bukunya “Hijrah, Selamat Datang Revolusi Moral, Selamat Tinggal Revolusi Mental” yakin ada puluhan janji yang tidak ditepati oleh Jokowi sejak masa kampanye sampai setelah menjadi presiden. Kita ambil beberapa janji besarnya.
Satu, Indosat yang sudah lepas dari tangan Indonesia, akan dibeli kembali (buy back). Ketika melontarkan janji buy back Indosat, nampak kalau sama sekali Jokowi tidak mengerti permasalahannya.
Ketika Indosat akan dijual murah ke Singapura, saya sebagai Ketua MPR waktu itu melakukan protes sangat keras. Saya yakinkan bahwa Indonesia langsung akan menjadi provinsi terbesar Singapura, karena tidak ada lagi rahasia negara yang tidak diketahui oleh Singapura.
“SMS, percakapan dan semua jenis informasi antara pejabat militer, kepolisian, birokrasi, tukar info antar tokoh di bidang apa pun, terekam dengan baik oleh pemilik Indosat yang baru. Padahal anak-anak bangsa yang melakukan road show ke Eropa dan Amerika pada waktu itu berjuang cukup keras agar Indonesia mendapat kapling di ruang angkasa, berhadapan dengan negara-negara besar.”
Beruntung kita akhirnya dapat memiliki Satelit Palapa yang menjadi kebanggaan nasional. Namun sejak penjualan Indosat ke tangan asing itu, Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat besar, tiba-tiba menjadi rapuh tanpa daya. Karena, sekali lagi, Indosat dan rangkaian Satelit Palapa itu sudah dikuasai asing.
“Puluhan janji tidak ditepati sejak kampanye sampai menjadi Presiden, Jokowi tidak pernah meminta maaf pada rakyat Indonesia,” ungkap Amien.
Pada 2002, Pemerintah Megawati menjual Indosat ke Temasek Singapura dengan harga bantingan USD $ 627 juta atau senilai Rp. 5,7 triliun. Waktu itu laba Indosat per tahun rata-rata Rp. 1,3 triliun. Penjualan ini bertentangan dengan akal sehat, karena nilai seluruh aset Indosat dihargai hanya sebanyak 4 atau 5 tahun keuntungannya.
Ooredoo Asia Pte Ltd, perusahaan asal Qatar sekarang menjadi pemilik utama Indosat. Marwan Batubara pernah mengingatkan bahwa pemilik baru Indosat tidak bakal melepas Indosat dengan harga kurang dari Rp. 100 triliun. Buy back Indosat kini menjadi fatamorgana. Anehnya, Jokowi tidak pernah meminta maaf pada bangsa Indonesia karena gagal memenuhi janjinya.
Janji Besar Kedua
Janji besar kedua Jokowi adalah menjadikan Pertamina sama kuat dengan Petronas atau bahkan melebihinya. Kita terkesima dengan janji hebat itu. Ternyata, pada akhir semester 3 tahun 2018, Pertamina (Per tahun minyak naik) hanya membukukan laba sebesar Rp. 5 triliun, sedangkan selama masa yang sama Petronas memperoleh laba sebesar Rp. 142 Triliun.
“Tentu, Jokowi tidak pernah meminta maaf pada rakyat Indonesia. Para pembantunya bersilat lidah dan berpencak logika bahwa kondisi ekonomi global memang sudah berubah drastis,” kata Amien.
Janji besar ketiga
Janji besar ketiga berkaitan dengan mobil Esemka. Ketika masih jadi walikota Solo dan mengincar kursi gubernur DKI, sang big pretender yang kita kagumi membuat berita mengejutkan sekaligus membanggakan, bahkan membahagiakan sebagian besar bangsa Indonesia.
Mobil yang katanya dibuat oleh para pelajar SMK Solo diproyeksikan oleh sang walikota sebagai mobil nasional. Tidak ada angin tidak ada hujan, muncul sebuah keajaiban teknologi otomotif di Solo. Sebagian besar anak bangsa berdecak kagum.
Murid-murid sebuah SMK dengan bimbingan gurunya, mampu membuat mobil nasional. Tidak terdengar dimana pabrik spare-parts nya, tidak diketahui pabrik utamanya, tidak pernah terbaca riwayat awalnya, tiba-tiba datang dari alam gaib sebuah mobil yang nampak cantik, dikasih nomer plat merah AD-1, dan diproyeksikan akan menjadi mobnas.
Sebuah terobosan akbar di dunia otomotif, datang dari Solo, dan pada umumnya masyarakat cenderung percaya. Kalau ada yang meragukan keaslian mobil Esemka, langsung dihujat sebagai manusia yang tidak pandai menghargai cipta dan karya anak bangsa sendiri. Mereka hanya jadi beban nasional.
“Ada yang menganggap mereka hanya nyinyir, embisil, bahkan idiot. Padahal yang percaya Esemka itulah yang tidak punya nalar dan benar-benar jahil,” tukas Amien.
Buat masyarakat yang masih waras berpikir dan bernalar jernih, mobil Esemka itu sebuah aib politik besar. Tanpa malu, Pak Kyai yang jadi cawapres, yang sesungguhnya saya hormati dan kagumi sejak tahun 1980-an berkata: Akhir Oktober mobil Esemka sudah akan dipasarkan secara massal. Mungkin karena pengaruh lingkungan politik yang suka bohong, Pak Kyai ikut terjerumus.
“Akan tetapi saya heran dan kagum dengan cara Jokowi menyikapi kekecewaan dan kecurigaan masyarakat tentang mobil Esemka. Saya catat dalam ingatan, di sebuah stasiun TV, Jokowi berkilah, lebih kurang: “Mobil Esemka itu bukan proyek Pemerintah. Kami hanya menolong. Perkara mau berhasil atau gagal terpulang pada pengusahanya.”
Begitulah sebuah happy ending untuk mobil Esemka. Sandiwara mobil Esemka memang tidak diperlukan lagi, karena sudah berhasil mengantar sang big pretender jadi gubernur, bahkan kemudian presiden.
“Saya perhatikan waktu membela diri dari kekecewaan masyarakat tentang mobil ajaib itu, Jokowi kelihatan begitu percaya diri dan begitu mantab. Tidak mudah bagi manusia biasa berperilaku seperti itu. Apalagi minta maaf pada masyarakat, tentu tidak terbersit sedikitpun dalam dirinya. Wong tidak salah kok minta maaf.”
Amien jadi ingat polisi di New York yang putus asa menginterograsi seorang pembobol bank yang sangat ulung yang tidak mau mengakui kejahatannya. Akhirnya si penjahat (pembohong) ulung itu disuruh berdiri di atas mesin lie detector (mesin pendeteksi kebohongan). Ketika ditanya dia tetap berbohong, dan jarum mesin yang sangat sensitif itu tidak bergerak sama sekali. Syaraf-syaraf di telapak kaki si penjahat itu sudah ikut “membatu” seperti hati batu-beku si penjahat itu.
Janji Besar Keempat
Janji-janji besar Jokowi yang keempat, kelima , keenam dan seterusnya adalah janji tidak akan menambah utang baru, janji tidak akan menaikkan harga BBM, janji akan membuat ekonomi Indonesia meroket, janji tidak akan impor pangan, janji membuka 10 juta lapangan kerja, janji batasi bank asing, janji pertumbuhan ekonomi 8%, janji menyelesaikan pelanggaran HAM, dan seterusnya, dan seterusnya. (des)