Jakarta (Panjimas.com) — Calon Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kebangsaan di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/1/2019) lalu. Pidato ini juga berisi visi dan misi capres yang berdampingan dengan Sandiaga Uno.
Hadir dalam pidato kebangsaan tersebut, para pimpinan partai politik, diantaranya: Ketua Dewan Pembina dan Umum Partai Demokrat, Presiden RI ke 6, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional, Prof. Dr. Amien Rais, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Ketua MPR RI Zulkifli Hasan.
Juga hadir Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr. Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera, Dr. Mohamad Sohibul Iman. Hadir pula para anggota DPR RI dan DPRD RI, para pimpinan lembaga tinggi negara, para duta besar dan perwakilan negara-negara sahabat.
Prabowo membuka pidatonya dengan membacakan sebuah sajak yang ditemukan di kantung seorang perwira muda yang gugur dalam pertempuran di Banten pada tahun 1946.
“Kita tidak sendirian. Beribu-ribu orang bergantung pada kita. Rakyat yang tak pernah kita kenal. Rakyat yang mungkin tak akan pernah kita kenal. Tetapi apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan apa yang terjadi kepada mereka.”
Prabowo mengatakan, sesungguhnya Pemilihan Umum ini bukan Pemilihan Umum-nya Prabowo, bukan Pemilihan Umum-nya Sandiaga Uno, tapi adalah Pemilihan Umum-nya bangsa Indonesia. “Karena itu, kemenangan yang dapat kita rebut di 17 April 2019 nanti bukan kemenangan Prabowo. Bukan kemenangan Sandiaga Uno. Tapi kemenangan bangsa Indonesia.”
Atas dasar keyakinan ini, Prabowo ingin agar seluruh masyarakat Indonesia mengerti betul apa yang akan diperjuangkan selama lima tahun mendatang, jika partai-partai politik Koalisi Adil Makmur mendapat mandat rakyat pada Pemilihan Umum tanggal 17 April 2019 yang akan datang.
“Kami juga ingin menyampaikan kepada saudara, apa-apa yang menjadi kegusaran kami, apa-apa yang mendorong kami untuk terus berada di kancah politik, dan menawarkan diri kami untuk memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Prabowo bercerita, beberapa waktu yang lalu, ia mendapat laporan, seorang buruh tani, seorang bapak, bernama Pak Hardi di Desa Tawangharjo, Grobokan, meninggal dunia karena gantung diri di pohon jati di belakang rumahnya. Almarhum gantung diri, meninggalkan isteri dan anak karena merasa tidak sanggup membayar utang, karena beban ekonomi yang ia pikul dirasa terlalu berat.
“Selama beberapa tahun terakhir ini, saya mendapat laporan, ada belasan cerita tragis seperti almarhum Hardi ini,” ujarnya prihatin.
Ada kisah seorang guru di Pekalongan gantung diri. Terakhir, tanggal 4 Januari lalu, ada ibu Sudarsi di Desa Watusigar, Gunungkidul gantung diri. Ini kisah-kisah yang masuk berita. Yang tidak masuk berita mungkin lebih banyak lagi.
“Saya juga baru datang dari Klaten. Di situ, petani-petani beras bersedih, karena saat mereka panen 2 bulan yang lalu, banjir beras dari luar negeri. Saya juga baru-baru ini dari Jawa Timur. Di sana, banyak petani tebu yang mengeluh, karena saat mereka panen, banjir gula dari luar negeri.”
Sementara itu, banyak ibu-ibu di mana-mana mengeluh, harga gula di Indonesia 2 sampai 3 kali lebih mahal dari rata-rata dunia. Padahal, dulu Nusantara pernah jadi eksportir gula.
“Inikah negara yang dicita-citakan dan diperjuangkan oleh para pendiri bangsa Indonesia? Bung Karno dan Bung Hatta, oleh bung Syahrir, oleh Jendral Sudirman, oleh K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Wahid Hasyim? Oleh K.H. Agus Salim, oleh Bung Tomo?” ungkap Prabowo sedih. (des)