Jakarta (Panjimas.com) – Sekelebatan Jokowi sedang berusaha membuat terobosan ketika dia mengajak bangsa Indonesia untuk melaksanakan revolusi mental. Supaya bangsa Indonesia cepat menjadi bangsa yang unggul.
“Hingga sekarang tidak ada dokumen otentik dari Pemerintahan Jokowi tentang revolusi mental (revmen) yang sempat mencuri perhatian anak-anak bangsa,” kata tokoh reformasi Amien Rais dalam bukunya “Hijrah, Selamat Datang Revolusi Moral, Selamat Tinggal Revolusi Mental” yang beberapa waktu lalu diluncurkan di Jakarta.
Dalam kaitan ini sebagian rakyat langsung memuji ajakan revolusi mental itu, walaupun mereka sendiri sesungguhnya belum tahu persis apa yang dimaksud dengan revolusi mental itu. “Jokowi sendiri, sang pemilik gagasan sloganistik itu, tidak pernah menguraikan apa yang dimaksud dengan revolusi mental itu.”
Amien Rais mencatat, dari berbagai pidato Jokowi dan pernyataan para pembantunya, ada sekitar 5 tema revolusi mental itu.
Pertama, Gerakan Indonesia Melayani. Timbul pertanyaan, melayani siapa? Jangan-jangan Indonesia harus melayani kepentingan luar daripada kepentingan bangsa sendiri. “Melayani kelompok konglomerat asing dan aseng lebih daripada melayani kepentingan rakyat sendiri.”
Amien memberi contoh, sebut saja seperti Skandal penyelesaian BLBI (di zaman Megawati), skandal Reklamasi Teluk Jakarta, skandal mega proyek Meikarta, skandal Kereta Api cepat Jakarta – Bandung, skandal tol laut yang dikawinkan dengan Jalur Laut Sutera China, masuknya tenaga kerja China yang cukup masif jumlahnya, dan sebagainya.
“Lalu kelompok bangsa dan negara mana saja yang sesungguhnya sedang dilayani oleh Indonesia dimasa 4 tahun pemerintahan Jokowi?” tanya Amien.
Gerakan Indonesia Bersih
Unsur ke dua revolusi mental adalah Gerakan Indonesia Bersih. Mungkin sekali maksudnya jalan-jalan harus bersih, kantor-kantor bersih dan perkampungan bersih, dll. Tentu kita setuju.
Namun soal bersih dari korupsi, soal ini lebih penting. Karena berkaitan dengan kekuatan dan kewibawaan bangsa dan negara. “Kita menyaksikan korupsi di zaman Jokowi masih tetap marak. Yang cukup menyedihkan korupsi paling kolosal justru dilakukan oleh kekuasaan sendiri.”
Korupsi berskala-mega yang marak di jaman Jokowi, saya yakin, adalah korupsi yang tergolong white collar crime, kejahatan krah putih. Kejahatan krah putih adalah korupsi yang melibatkan para pejabat tinggi dan tertinggi di sebuah negara.
Para pejabat tinggi ini berkolaborasi dengan korporasi berskala regional dan global. Volume uang yang dipertaruhkan bukan lagi ratusan milyar, tetapi meliputi puluhan dan ratusan triliun rupiah.
Dikatakan Amien, korupsi dahsyat yang berupa kejahatan kerah putih ini, di 4 tahun pemerintahan Jokowi, sayangnya luput dari perhatian masyarakat. Saya yakin KPK cukup faham bahaya destruktif kejahatan krah putih ini, tetapi KPK mustahil punya ke keberanian moril (moral courage) untuk mengejar korupsi yang paling menghancurkan ini.
“Karena itu kalau menggunakan logika akal sehat, sesungguhnya KPK punya potensi besar menjadi pihak yang paling di depan melakukan obstruction of justice.”
KPK dengan posisinya sebagai lembaga super dan tidak mau diawasi, justru membenamkan tegaknya keadilan untuk kasus-kasus tertentu. Mengapa? Karena bila kasus-kasus itu dibongkar dan dikejar akan menghancurkan legitimasi (keabsahan) rezim.
“Korupsi berskala mega di perpajakan, pertambangan, perbankan, dan pembangunan infrastruktur sejauh ini tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK,” tulis Amien. (des)