SOLO, (Panjimas.com) – Sikap anti demokrasi ditampakkan oleh pemerintah saat ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya penghalangan umat Islam dalam menyampaikan pendapatnya di acara Tablig Akbar 212 di Bundaran Gladag. Ahad, (13/1).
Dari pantauan Panjimas di lapangan tampak seluruh aparat kepolisian berada disejumlah pintu masuk menuju kota Solo. Apara kepolisian melakukan penghadangan umat Islam dari luar Solo yang ingin bergabung dalam acara tersebut.
Akibatnya umat Islam yang berasal dari Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Boyolali dan juga Jawa Timur tidak bisa mengikuti acara Tablig Akbar 212. Bahkan menurut ketua Panitia R Djayendra Dewa, umat Islam dari Yogyakarta yang berencana membawa bendera keraton yang merupakan pemberian dari Khilafah Turki Utsmani juga dihadang di daerah Candi Prambanan.
Dihadapan para wartawan R Djayendra Dewa menyampaikan kekecewaannya.
“Ada apa dengan aparat kepolisian? Mengapa umat Islam yang akan mengadakan tablig akbar saja tidak boleh,” ujarnya. Ahad, (13/1).
Tak hanya dihadang, panitia juga dilarang mendirikan panggung aksi. Akibatnya panitia harus menggunakan truk seadanya yang dimodifikasi menjadi panggung agar para pembicara bisa dilihat dari jarak jauh.
R Djayendra menegaskan bahwa tujuan dari diadakannya Tablig Akbar 212 ini adalah untuk mengusung spirit 212 yang adala di Monas Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Panitia juga menolak tegas jika acara ini dikait-kaitkan dengan acara politik.
“Sejak dari awal saya tegaskan bahwa acara ini tidak ada unsur politik, kami melarang setiap peserta yang membawa atribut partai politik baik koas ataupun bendera. Kepada para pembiacara kami juga berpesan agar tidak membahas politi,” tambahnya.
Tampak hadir pembicara nasional di acara tersebut Ustadz Slamet Ma’arif, Ustadz Fadlan Garamatan, aktivis Tionghoa Lius Sungkharisma serta pembicara lokal seperti Mantan Bupati Wonogiri Begug Purnomosidi, Ketua DSKS Dr Muinudinillah Basri serta pimpinan ormas lainnya. [RN]