Jakarta (Panjimas.com) – Dalam buku terbarunya yang berjudul “Hijrah: Selamat Datang Revolusi Moral, Selamat Tinggal Revolusi Mental”, Amien Rais menilai Presiden Jokowi telah gagal membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih kuat, lebih adil dan lebih makmur.
“Bila prestasi empat tahun Pemerintah Jokowi dibandingkan dengan visi-misi dan program aksi yang dijadikan acuan utama kampanye pilpres 2014, atau dibandingkan dengan puluhan janji semasa kampanye, bisa dikatakan bahwa Jokowi gagal.”
“Kini tidak pernah lagi terdengar Program Nawa Cita yang muluk-muluk dan juga Pogram Tri Sakti. Program Trisakti sudah terbukti gagal. Kita jelas tidak berdikari dalam ekonomi,” tulis Amien.
Menurut Amien, berdaulat dalam politik pun rasanya tidak terjadi, karena Beijing oriented policy semakin kentara dilaksanakan sejak Jokowi jadi Presiden empat tahun lalu. Sementara berkepribadian sesuai budaya Indonesia makin jauh dari impian, karena yang berkembang selama empat tahun belakangan ini justru sebuah cheating culture. Budaya tipu-tipu dirasakan oleh masyarakat luas.
“Rakyat disuruh percaya bahwa ekonomi makin bagus, kehidupan sosial – ekonomi bangsa makin makmur, masa depan makin cerah. Semuanya merupakan omongan bombastis yang tidak ada dalam kenyataan,” ungkap Amien.
Nawa cita, kata Amien Rais, sudah berubah menjadi nawa sengsara. Mereka merasakan sengsara sosial (kesenjangan sosial makin lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin); sengsara ekonomi (kehidupan ekonomi dirasakan makin berat); sengsara hukum (pelaksanaan hukum tumpul keatas dan luar biasa tajam ke bawah); sengsara HAM (pelanggar HAM ditanah rencong, di tanah Papua, dan di pelbagai wilayah masih berlangsung);
Apalagi? Sengsara diskriminasi (pembubaran HTI tanpa lewat proses peradilan); sengsara moral (kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral); sengsara ketergantungan kehidupan bangsa pada bangsa asing; sengsara kejiwaan (grafik jumlah penderita sakit jiwa meningkat tajam); dan sengsara membuncahnya kebohongan rezim.
“Bila ada kelompok masyarakat yang tidak melihat kemajuan ekonomi serta kehidupan rakyat yang semakin baik lantas kelompok tersebut dianggap buta dan tuli. Saya rasa tidak ada ekspresi self-denial yang seironis ini.”
Hal ini mengingatkan kita pada kisah klasik kuno yang menceritakan rakyat disebuah kerajaan disuruh meyakini bahwa sang raja yang kirab keliling kota sedang mengenakan pakaian kebesaran, padahal raja itu sesungguhnya sedang bertelanjang bulat. Ditanamkan dalam benak rakyat di kerajaan itu, bahwa siapa saja yang tidak mampu melihat pakaian kebesaran yang dikenakan oleh raja, orang itu pasti sudah gila.
“Rakyat yang ketakutan hanya bisa mengangguk-angguk. Kerumunan orang dewasa yang sudah dicuci otaknya oleh kekuasaan raja, menjadi malu dan terkejut tatkala beberapa bocah dengan kejujuran mereka berteriak: “Raja telanjang, raja telanjang” berulang-ulang. (des)