Jakarta (Panjimas.com) – Sebuah wasiat terakhir untuk Bangsa ditulis Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA saat peluncuran buku berjudul “Hijrah: Selamat Tinggal Revolusi Mental, Selamat Datang Revolusi Moral”, Refleksi selayang pandang , Jum’at (11/1 2019) di Jl. Daksa 1 No. 10, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dalam buku ini Amien Rais secara lugas dan gamblang menuliskan Jokowi dengan program Nawacita dan Revolusi Mentalnya terbukti gagal dalam membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih kuat, lebih adil dan lebih makmur.
Bagi masyarakat apalagi kawulo alit, nawacita sudah berubah menjadi nawasengsara (hlm. 10). Dalam buku itu mengupas tentang Sengsara Sosial (kesenjangan makin lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin); Sengsara Ekonomi (Harga makin mahal dan ekonomi makin memburuk); Sengsara Hukum (hukum tumpul keatas tapi tajam ke bawah, pembubaran HTI tanpa peradilan yang diskriminatif, dsb) Sengsara HAM (pelanggar HAM di Aceh/ Papua semakin banyak); Sengsara Moral (kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral) dan masih banyak lagi.
Amien Rais menyebutkan program Jokowi yang dinamakan revolusi mental mungkin terdengar begitu apik ditelinga masyarakat. Meski hingga saat ini Jokowi sendiri tidak pernah menguraikan apa yang dimaksud dengan revolusi mental tersebut. Masyarakat sendiri pun tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan revolusi mental (hlm. 13). Revolusi mental hanya menjadi gerakan tanpa arah, kosong makna, hanya rangkaian slogan yang enak didengar dan pahit realitanya.
Amien Rais menulis, “Puluhan janji Jokowi haturkan ketika masa kampanye. Namun puluhan janji itu juga tidak ia tepati sampai menjadi presiden. Jokowi bahkan tidak pernah meminta maaf kepada rakyat Indonesia” (hlm. 24).
Untuk seorang pemimpin yang tidak punya wawasan moral, melakukan kebohongan untuk mencapai tujuan politik dianggap sebagai hal biasa. Bahkan pembangunan infrastruktur yang selama ini dibanggakan sebenarnya adalah kamuflase untuk memuluskan Jalan Sutra Cina/One Belt One Road lewat program Tol Laut, reklamasi, pelabuhan, bandara yang pada akhirnya hanya membuat Indonesia semakin terjerat hutang( debt trap)
Benar yang dikatakan Amien bahwa empat tahun terakhir ini justru berkembang luas budaya tipu-tipu, mengarah menjadi lying culture, budaya menipu, budaya pengibulan (hlm. 42).
Kita mungkin bisa merasakan sendiri, saat ini kita seperti hidup dijaman yang serba membingungkan, penuh musibah, jaman yang penuh kesulitan, jaman penuh kebohongan dan kepalsuan. Yang hitam dibuat seolah putih sementara yang putih dibuat hitam, kriminalisasi ulama, dan ketidaknetralan media terlalu mencolok mata. Media massa yang seharusnya menjadi Watch Dog (Anjing Pengawas) justru menjadi menjadi Guard Dog,anjing penjaga kepentingan penguasa (hlm. 69).
“Akibatnya masyarakat dibuat bingung, membedakan yang benar dan salah. Ranggawarsita menyebut ini Jaman Kalatidha (Jaman penuh keraguan), Amien Rais menyebutkan kekacauan ini hanya terjadi ketika bangsa ini kehilangan kompas moral.”
Revolusi mental ala Jokowi yang tidak jelas maknanya, harus segera diganti dengan revolusi moral, demikian kata Amien (hlm. 30)
Dalam bukunya Amien Rais mengatakan bahwa mental adalah sikap lahiriah yang mengejawantah dari keadaan batin seseorang. Akan tetapi ada hal yang lebih mendasar dan lebih esensial lagi yang perlu kita perhatikan, yakni bahwa mental tidak pernah bisa membedakan nilai (values). Nilai-nilai moral, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kemanusiaan, tidak dikenal dalam struktur mental manusia (hlm. 20).
“Seharusnya Jokowi dan para kawan-kawannya harus lebih bisa membaca aspirasi umat islam yang serba demokratis, transparan, legitimate dan konstitusional” (hlm. 52).
Di akhir bukunya Amien Rais juga mengingatkan integritas moral KPU untuk menjaga fairness and transparancy(hlm. 65). Ibarat wasit yang memimpin pertandingan bola, jika berat sebelah, maka seluruh penonton di stadion bisa gaduh dan marah besar. Demikian pula TNI/Polri, harus tetap menjadi alat negara dan bukanya alat kepentingan pemerintah.
Bila penguasa sebuah bangsa sudah tuna moral, maka penguasa itu bisa menjadi permisif, kelihatan bodoh tetapi arogan, kelihatan bingung tetapi merasa benar sendiri (Solipsistik)
Tanpa kompas moral kita jadi manusia bingung, tidak mampu lagi kita membedakan benar dan salah, mana yang moral dan mana yang immoral. Kehilangan kompas moral itulah musibah yang menimpa rezim Jokowi sekarang dan sebaiknya harus segera ditinggalkan. (des)