JAKARTA, (Panjimas.com) – Ramainya pemberitaan soal terungkapnya kasus prostitusi online yang melibatkan banyak nama orang terkenal di negeri ini. Khususnya beberapa artis dan publik figur mengundang reaksi banyak pihak.
Menurut Reza Indragiri pakar psikologi forensik bahwa hukum kita tidak memposisikan pelacur sebagai pelaku, melainkan sebagai korban. Ini berangkat dari pandangan bahwa pelacur adalah manusia tak berdaya yang dieksploitasi pihak lain.
“Faktanya adalah bahwa dewasa ini orang yang menjadi pelacur adalah orang yang memilih berdasarkan perhitungan bisnis untung rugi. Si pelacur berkehendak dan memutuskan sendiri untuk menjadi pelacur. Dia adalah pelaku aktif dalam pelacuran,” ujar Reza Indragiri.
Masih menurut dirinya, itu yang kemudian dirumuskan dalam sebuah konferensi perempuan di Beijing beberapa tahun lalu. “Saya lupa namanya, tapi bahwa ada voluntary prostitution dan ada involuntary prostitution,” ujarnya.
Mereka yang ditangkap dalam pemberitaan di media saat ini boleh jadi adalah contoh voluntary prostitution. Polisi menyidiknya. Karena voluntary, semestinya dipidana.
“Namun sayangnya, dua tipologi pelacuran tersebut belum diadopsi ke dalam hukum positif kita. Itu sebabnya, sebagaimana pada kasus pelacuran pelacuran daring (online) terdahulu, saya skeptis mereka bakal dipidana sebagai pelaku,” katanya.
Alhasil, penangkapan dan pemberitaan seolah menjadi promosi gratis saja. Proses revisi KUHP di DPR patut memuat poin tentang pemidanaan bagi pelacur tipe pertama (voluntary prostitute).
“Pada sisi lain, sanksi sosial bisa saja ditegakkan. Jangan kasih mereka order sinetron (panggung), sebut pelacur (jangan pakai sebutan eufemistik). Masyarakat, utamanya anak-anak, jangan sampai mendapat pelajaran ngawur bahwa pelacur sekaligus artis yang diamankan polisi justru semakin laris,” tegasnya.
Begitu juga dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu buat ketentuan untuk memastikan para pelacur daring tidak muncul di layar kaca. Juga untuk memastikan bahwa mereka tidak menjadi agen HIV-AIDS maupun penyakit menular seksual lainnya, mereka dikenakan wajib lapor secara rutin.
Masih menurut ahli psikologi forensik itu. Bolehlah ditanya ke mereka: apa sesungguhnya pekerjaan utama mereka. Mereka adalah pelacur yang menyambi sebagai artis ataukah artis yang menyambi sebagai pelacur.
“Satu lagi terakhir, kalau pelacur daring (online) diposisikan sebagai korban eksploitasi, mereka kudu mendapat ganti rugi. Proses untuk mendapatkan ganti rugi itu dimulai di polisi. Sudi? Kalo saya sih tidak!” pungkasnya. [ES]