KUPANG, (Panjimas.com) — Ketua Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni menegaskan agar Pemerintah Australia membawa pulang kembali dana bantuannya lewat program pembangunan luar negerinya (AusAID) guna membantu masyarakat asli Australia Aborigin yang dinomorduakan oleh negeri Kanguru.
“Tampaknya dana AusAID itu jauh lebih bermanfaat untuk masyarakat Aborigin dari pada membantu kami rakyat Indonesia dengan tujuan politis yang sarat dengan kepentingan Australia,” pungkas Ketua Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni kepada Antara di Kupang, Senin (07/01).
Ferdi menegaskan Indonesia adalah sebuah negara dan bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam yang melimpah, sehingga tidak membutuhkan bantuan asing seperti yang dilakukan Australia lewat AusAID itu.
“Jika bantuan yang diberikan itu dengan tujuan kemanusiaan tanpa adanya embel-embel politik, kami rakyat Indonesia pasti akan terima dengan senang hati. Tapi apa yang dilakukan Australia itu sarat dengan muatan politis untuk menguasai bangsa dan negara Indonesia,” ujarnya, dilansir dari Antara.
Australia lewat program AusAID akan memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar 375,7 juta dolar dalam tahun anggaran 2015/2016, termasuk perkiraan pendanaan bilateral sebesar 323 juta dolar yang dikelola Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT).
Kemitraan kerja sama Australia-Indonesia lewat AusAID ini meliputi bidang politik, keamanan, perdagangan, ekonomi, dan pembangunan.
“Kami minta Australia membawa pulang saja bantuan yang hendak disalurkan ke Indonesia. Untuk apa rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai warga negara kelas tiga oleh Australia,” tukas Tanoni.
Ia menguraikan sejak tahun 1942, rakyat Timor Barat merelakan lapangan terbang Penfui di Kupang untuk dijadikan sebagai zona penyanggah guna membendung lajunya pasukan Jepang yang hendak melakukan invasi ke Australia melalui Darwin.
“Tak terhitung banyaknya isteri orang Timor yang diperkosa bahkan menurut catatan sejarah Australia, tidak kurang dari 30.000 hingga 70.000 orang Timor laki-laki, perempuan, tua dan muda kehilangan jiwa mereka karena kesetiaannya membela pasukan Australia,” paparnya.
Di samping itu, Australia telah dengan sengaja merampas kedaulatan laut NKRI dengan mencaplok hampir 85 persen wilayah Laut Timor yang kaya migas menjadi miliknya.
Sementara itu, rakyat NTT dikorbankan lagi oleh Australia dengan tragedi petaka pencemaran minyak Montara 2009 di Laut Timor dimana Australia sengaja menutup-nutupi dengan membela perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP Australia serta menghindar dari tanggung jawabnya.
Tendensi Politik
Sehubungan dengan itu bantuan AusAid yang diberikan Australia itu memiliki tendensi politik tertentu untuk mendiamkan rakyat Indonesia dari berbagai perlakuan buruk dan tidak manusiawi yang dilakukan Australia.
“Kami tidak membutuhkan bantuan Australia bila hak-hak, harga diri, martabat dan kedaulatan kami diinjak dan dirampas oleh pemerintahan negeri Kanguru itu,” tegas Ferdi.
Secara sepihak, lanjutnya, Australia juga telah menguras kekayaan minyak dan gas bumi Indonesia di Laut Timor sejak 1974 dan 1997, khususnya di wilayah selatan Pulau Timor yang berbatasan dengan Australia Barat.
“Kalau Indonesia berani, tampaknya kita bisa bawa persoalan ini ke ranah hukum dan menggugatnya di Pengadilan Internasional, karena apa yang dilakukan oleh Australia itu, hanya demi kepentingan nasional negerinya saja,” tandasnya.
Atas dasar itu, imbuh Tanoni, bantuan lewat AusAID itu untuk menunjukkan bahwa Australia merasa sangat berjasa terhadap rakyat Indonesia.
“Atas dasar nilai-nilai kemanusiaan tersebut, sebagai anak bangsa Indonesia, kami menolak dengan tegas bantuan pemerintah Australia lewat program luar negerinya itu,” ujar Tanoni menegaskan.
Tanoni bersama Peduli Timor Barat, salah satu lembaga non pemerintah yang berkedudukan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, terus menyuarakan petaka pencemaran minyak di Laut Timor sejak tahun 2009.
Pencemaran itu terjadi sebagai akibat dari meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009 yang sampai saat ini terus dihindari oleh Australia ketika dituntut tanggungjawabnya.
“Melalui Duta Besar dan Wakil Duta Besarnya di Jakarta, Australia selalu membuat alasan yang sangat tidak berdasar untuk melarikan diri dari tanggungjawabnya. Inilah kisah pahit yang kami hadapi selama 10 tahun lamanya,” tandas Tanoni.
Australia juga melecehkan hasil pertemuan dengan Montara Task Force, sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Indonesia guna mempercepat penyelesaian kasus Montara, serta tidak bersedia untuk menjawab surat Pemerintah Indonesia yang ditujukan kepadanya.[IZ]