JAKARTA (Panjimas.com) – Akibat sirine peringatan dini yang tidak aktif, Tsunami yang terjadi Sabtu malam di Selat Sunda menelan banyak korban. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengakui bahwa pihaknya tidak menghidupkan sirine peringatan dini tsunami di wilayah peisisr Kabupaten Pandeglang, Banten.
“Terkait bunyi sirine tadi pagi sirine BMKG tidak dinyalakan. Jadi harus dipastikan dulu apakah itu sirine BMKG,” kata Kabid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya di Jakarta, Minggu.
Hal itu disampaikan terkait dengan adanya isu kenaikan air laut di Banten hingga mengaktifkan sirine peringatan dini dan menimbulkan kepanikan masyarakat.
Kepanikan tersebut disebabkan tsunami yang terjadi pada Sabtu (22/12) malam yang berdampak di Pandeglang Banten dan Lampung yang diduga akibat longsoran di bawah laut terkait aktivitas vulkanik erupsi Gunung Anak Krakatau.
Dia menjelaskan sirine BMKG bisa didengar hingga jarak dua kilometer dengan suara yang statis. Selain itu untuk mengaktifkan sirine BMKG tidak cukup hanya dengan menekan tombol tapi dapat diaktifkan dengan remote dan jika diaktifkan secara manual ada beberapa tahap yang harus dilakukan.
Tiar juga menyebutkan dari pantauan tide gauge BMKG juga tidak terdeteksi kenaikan gelombang. “Memang saat ini di Selat Sunda dan terjadi kenaikan gelombang mungkin karena traumatis peristiwa semalam maka kenaikan gelombang yang biasa pun bisa dikaitkan dengan tsunami susulan,” katanya.
Selain itu berdasarkan catatan BMKG juga tidak ada aktivitas seismik yang signifikan. Dia menyatakan sirine di Indonesia memang identik dengan perintah evakuasi kewenangan untuk perintah evakuasi diambil oleh pemerintah daerah.
Pantau tsunami akibat gempa
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki BMKG saat ini khusus untuk memantau gempa bumi yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik atau gempa bumi, bukan vulkanik. “Jadi karena ini dipastikan akibat vulkanik maka tidak ada early warning,” kata Rahmat Triyono di Jakarta, Minggu.
Apalagi, tambah Rahmat, tsunami yang melanda Banten dan Lampung terjadi pada Sabtu (22/12) malam sehingga secara visual aktivitas gunung Anak Krakatau tidak bisa dilihat, sedangkan jika terjadi siang hari erupsi bisa dilihat.
Lebih lanjut dia mengatakan, BMKG juga sudah berkoordinasi dengan Badan Geologi sejak Sabtu (22/12) malam namun diketahui sensor Badan Geologi untuk memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau rusak akibat erupsi sebelumnya sehingga tidak tercatat.
Namun dipastikan dari sensor yang ada di Pulau Sertung mencatat pada pukul 21.03 WIB terjadi erupsi. “Sensor kami di Cigeulis Pandeglang juga mencatat ada usikan. Jadi kesimpulan ini memang akibat aktivitas vulkanik,” ujar Rahmat.
Rahmat menjelaskan bahwa tsunami hanya terjadi jika ada gempa besar, longsoran atau kejadian lain seperti letusan gunung api di bawah laut yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air laut. Dan kalau kemudian ada tsunami lagi, artinya ada kejadian lain lagi yang memicunya.
Mengenai tsunami yang menerjang Pandeglang, Serang dan Lampung Selatan pada Sabtu (22/12), ia mengatakan bahwa penyebabnya masih diteliti oleh Badan Geologi.
Siaran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di laman resminya menyebutkan bahwa pusat vulkanologi merekam adanya gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo overscale 58 milimeter (mm) dan letusan Gunung Anak Krakatau pada Sabtu (22/12) pukul 21.03 WIB, namun masih mendalami kaitannya dengan tsunami yang terjadi di Selat Sunda.
Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 teramati mengalami letusan dengan tinggi asap berkisar antara 300 sampai dengan 1.500 meter di atas puncak kawah.
Menurut PVMBG rekaman getaran tremor tertinggi yang terjadi sejak bulan Juni tidak menimbulkan gelombang air laut bahkan hingga tsunami. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu. (des)