MOSKOW, (Panjimas.com) — Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, Amerika Serikat (AS) tidak dapat menyelesaikan konflik Palestina-Israel sendirian. Hal itu disampaikan seusai bertemu Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki di Moskow, Jumat (22/12).
“Kami memahami pentingnya AS dan tidak akan pernah ada keberhasilan (perdamaian Israel-Palestina) tanpanya. Tapi AS harus mengakui bahwa mereka tidak akan pernah mencapai kesepakatan (perdamaian Israel-Palestina) sendirian,” ujar Lavrov, dikutip dari Middle East Monitor (MEMO).
Menurut Lavrov, cara terbaik untuk melakukan pembicaraan damai Israel-Palestina adalah dengan meletakannya di bawah pengawasan internasional. Dalam hal ini, ia mengacu pada PBB, Uni Eropa, AS, Rusia, dan Liga Arab.
Sergey Lavrov pun menyinggung tentang kecemasan Israel perihal keamanannya bila menjalin perundingan.
“Mengingat hubungan khusus kami, tidak hanya dengan Palestina, tapi juga Israel, kami ingin membantu mencapai kesepakatan yang solid, yang secara hukum akan mengamankan kepentingan sah Israel di bidang keamanan,” tukasnya.
Saat ini Rusia sedang berusaha mempertemukan para pemimpin Fatah dan Hamas. Moskow ingin membantu pencapaian rekonsiliasi antara kedua faksi Palestina yang telah berselisih selama lebih dari 10 tahun tersebut. Menurut Rusia, perpecahan internal Palestina menjadi penghambat untuk melakukan pembicaraan dengan Israel.
Rusia telah mengundang pemimpin Hamas Ismail Haniyeh ke Moskow untuk menghadiri pertemuan tersebut. Haniyeh dikabarkan akan memenuhi undangan tersebut pada Februari 2019.
Moskow pun bersedia membantu proses rekonsiliasi antara kedua faksi yang telah berselisih selama lebih dari 10 tahun tersebut.
Menurut Lavrov, perpecahan internal Palestina menjadi penghambat dimulainya pembicaraan langsung dengan Israel. Oleh karena itu, pihaknya mendesak semua warga Palestina berdamai dan memberi Otoritas Palestina wewenang untuk bernegosiasi.
Sementara itu, Riyad al-Maliki menuding Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu hanya berpura-pura siap untuk bernegosiasi dengan Palestina tanpa prasyarat apa pun.
“Ketika sampai pada kesepakatan, Netanyahu, entah bagaimana, menghindarinya,” ujarnya, dikutip laman Anadolu Agency.
Rusia dilaporkan akan mempertemukan perwakilan Hamas dan Fatah guna membantu kedua faksi itu mencapai rekonsiliasi.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh telah menerima undangan untuk mengunjungi Moskow. Haniyeh dikabarkan akan memenuhi undangan tersebut pada awal tahun depan.
Haniyeh sendiri telah mengumumkan kesiapannya bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Ia mengaku bersedia mengadakan pembicaraan di mana pun untuk membahas situasi internal Palestina.
“(Hamas) siap mematuhi segala persyaratan untuk memulihkan persatuan nasional Palestina dan mengakhiri perpecahan,” ujarnya ketika berpidato pada acara peringatan berdirinya Hamas pada 16 Desember lalu.
Fatah dan Hamas telah berselisih sejak tahun 2007. Hal ini dipicu oleh kemenangan Hamas dalam sebuah pemilu pada 2006. Hamas memenangkan pemilihan tersebut, akan tetapi Fatah menolak mengakui kemenangan Hamas. Pada Juni 2007, Hamas mulai mengendalikan dan mengontrol pemerintahan di Gaza.
Beberapa upaya rekonsiliasi antara kedua faksi itu sempat dilakukan tetapi gagal karena tidak tercapainya kesepakatan mengenai syarat-syarat tertentu antara Hamas dan Fatah.
Pada Oktober 2017, Hamas dan Fatah menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi di Kairo. Penandatanganan kesepakatan itu menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih.
Setelah sepuluh tahun berlalu, Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya untuk memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apa pun.
Hamas bahkan membubarkan komite administartif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza. Hal itu dilakukan agar Otoritas Palestina dapat mengambil alih tugas pemerintahan di Jalur Gaza.
Akan tetapi, rekonsiliasi keduanya masih mengalami kebuntuan. Kini, Hamas masih mengontrol Jalur Gaza sedangkan Fatah menjalankan pemerintahan di Tepi Barat.
Sementara itu, AS tengah menyiapkan kerangka perdamaian baru untuk Israel dan Palestina atau dikenal dengan istilah “Deal of the Century”. AS mengklaim, dengan kerangka tersebut, Palestina akan menuai banyak keuntungan. Namun tak dijelaskan keuntungan seperti apa yang dimaksud.
Sejak AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017, Palestina menolak melanjutkan perundingan damai dengan Israel yang dimediasi olehnya. Palestina menilai AS tak menjadi mediator yang netral karena terbukti membela kepentingan politik Israel.[IZ]