JAKARTA (Panjimas.com) – Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak tinggal diam melihat penindasan yang dilakukan Pemerintah China terhadap Muslim Uyghur di Xinjiang.
“Kita menyadari, bahwa masalah Uyghur adalah masalah dalam negeri Tiongkok. Tapi, itu bukan berarti Pemerintah Tiongkok bisa bebas berbuat semena-mena dan menginjak hak asasi rakyat Uyghur yang mayoritas penduduknya beragama Islam,” kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya yang diterima Panjimas.com, Rabu (19/12) siang.
Permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI)yang meminta supaya Pemerintah Indonesia tidak diam melihat Muslim Uyghur dizalimi, menurut Anwar, sejalan dengan Pembukaan UUD 1945.
“Sudah jelas-jelas dikatakan, bahwa yang namanya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu, penjajahan dan atau pelanggaran hak asasi manusia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” tegas Abbas.
Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia tidak boleh diam dan tidak peduli terhadap apa yang terjadi di negara lain.
“Kita harus menjadi bangsa yang secara serius dan sungguh-sungguh untuk menegakkan dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang terdapat dalam sila kedua Pancasila,” pungkas Anwar.
Seperti diketahui, sejak 2014, sedikitnya ada tujuh bentuk penindasan yang dilakukan Pemerintah China terhadap Muslim Uyghur di Xinjiang.
Di antaranya ialah melarang memberi nama bayi dengan nama-nama Islami. Kaum Muslimin di Uyghur diancam jika melakukan hal itu, pemerintah tidak akan memberikan akses layanan kesehatan dan pendidikan.
Selain itu, Muslim Uyghur juga dipaksa menyerahkan seluruh barang yang bernuansa Islami, seperti sajadah, Al-Qur’an, dan simbol-simbol Bulan dan Bintang. Pemerintah China menilai bahwa Al-Qur’an mengandung konten yang ekstrim.
Muslim Uyghur juga dipaksa meninggalkan agamanya dengan menyanyikan lagu-lagu Partai Komunis, memakan daging Babi, meminum alkohol.
Bahkan, laki-laki Muslim pun dilarang memelihara jenggot. [DP]