WASHINGTON, (Panjimas.com) — Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS) menyatakan penganiayaan terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan tindakan genosida. DPR AS pun mendorong negara-negara lain untuk menindaklanjuti hal tersebut, demikian menurut seorang aktivis HAM senior.
Harn Yawnghwe, putra Presiden pertama Myanmar Sao Shwe Thaike mengatakan keputusan itu menegaskan tindakan yang harus diambil oleh Pengadilan Kriminal Internasional untuk menyelidiki lebih lanjut, dilansir dari Anadolu Agency.
Keputusan DPR AS tersebut, lanjutnya, membantu Misi Pencarian Fakta Independen Internasional PBB (IIFFM) melaporkan bahwa ada bukti yang kredibel terhadap tindakan kejahatan pemerintah Myanmar dan pasukan keamanannya.
DPR AS menyetujui resolusi dengan pemungutan suara 394-1 pada 14 Desember yang menegaskan bahwa tindakan Militer Burma adalah genosida terhadap penduduk Muslim Rohingya.
Tim Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar menyimpulkan bahwa Militer Myanmar bersalah atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk perkosaan, perbudakan seksual, mutilasi, penyiksaan, penganiayaan, dan perbudakan.
Pemerintah, Parlemen dan Senat Kanada juga mengakui kekejaman terhadap Rohingya pada bulan September lalu.
“Ini harus mendorong negara-negara lain yang belum memutuskan untuk mengakui bahwa apa yang terjadi di Myanmar adalah genosida,” pungkas Yawnghwe, yang juga Direktur Eksekutif Kantor Euro-Burma yang berbasis di Brussels, yang mempromosikan demokrasi di negara asalnya.
Langkah AS berarti bahwa masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk bertindak menghentikan genosida, tandas Yawnghwe.
“Tindakan segera diperlukan untuk melindungi Rohingya. Mereka membutuhkan tanah air yang dilindungi di Myanmar,” tukasnya.
Pemulangan Kembali Rohingya
Yawnghwe juga menyuarakan keprihatinan atas proses repatriasi ratusan ribu Rohingya dari Bangladesh, di mana mereka diperlakukan secara brutal di negara bagian Rakhine Myanmar tahun lalu.
Sebelum sebuah kebijakan repatriasi “sampai tanah air yang dilindungi” terbentuk maka akan membuat minoritas dalam bahaya besar karena pemerintah Myanmar tidak mengubah kebijakannya atau melakukan tindakan apa pun untuk mencegah pembantaian orang-orang Rohingya lainnya.
Yawnghwe menyarankan sanksi ekonomi dan politik yang lebih luas terhadap pemerintah Myanmar dan militer untuk menunjukkan mereka tidak bisa lolos dari tindakan genosida.
“Mereka perlu direformasi dan berubah. Masyarakat Myanmar juga perlu tahu bahwa mereka tidak dapat membunuh atau menganiaya minoritas dengan impunitas,” jelasnya.
Menurut Yawnghwe, ini akan memberi harapan kepada Rohingya agar mereka dapat kembali dengan selamat dan menjalani kehidupan yang aman di bekas rumah mereka tanpa takut akan penganiayaan lebih lanjut.
Tanpa harapan dan tanpa kendali atas kehidupan mereka sendiri, kata dia, orang menjadi putus asa.
“Komunitas internasional harus bertindak sebelum terlambat,” imbuhnya.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus tahun lalu.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut laporan oleh Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA)
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dilemparkan ke dalam api, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, kata laporan OIDA, yang berjudul “Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira.”
Sekitar 18.000 wanita dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak, tambahnya.
PBB juga mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]