HUDAYDAH, (Panjimas.com) — PBB telah menetapkan dimulainya gencatan senjata antara pasukan pro-Pemerintah Yaman dan pemberontak Syiah Houthi di kota Al Hudaydah pada 18 Desember mendatang. Informasi ini disampaikan seorang juru bicara kelompok Houthi, dilansir dari Al Jazeera News Channel, Ahad (16/12).
Keputusan ini merupakan terobosan signifikan pertama dalam upaya perdamaian yang diperantarai PBB. Tujuannya adalah membuka jalan bagi negosiasi politik untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung selama lebih dari empat tahun dan menewaskan puluhan ribu penduduknya serta membuat Yaman di ambang krisis kelaparan.
“Houthi menerima pesan dari PBB, yang telah menetapkan tanggal untuk memulai gencatan senjata antara pihak yang bertikai di Kota Hodeidah pada 18 Desember,” jelas juru bicara Houthi tersebut.
Hudaydah mengalami bentrokan sporadis sejak Jumat (14/12) lalu. Aksi kekerasan ini merupakan yang pertama menghantam kota pelabuhan itu sejak pihak yang berseteru mencapai gencatan senjata yang ditengahi PBB di Swedia pada Kamis (13/12).
Warga setempat melaporkan mendengar tembakan dan ledakan rudal. Pasukan Yaman yang didukung koalisi pimpinan Arab Saudi-UAE telah berkumpul di pinggiran kota.
Pelabuhan di Hudaydah merupakan jalur penyelamat bagi jutaan warga Yaman yang menghadapi kelaparan, terjadi setelah Houthi dan pasukan Pemerintah Yaman setuju menghentikan pertempuran dan menarik pasukan mereka.
Sebelumnya, mereka telah melakukan konsultasi selama sepekan di Swedia yang berakhir pada 13 Desember lalu.
Dalam perundingan di Swedia, pihak yang bertikai juga menandatangani perjanjian pertukaran tahanan. Pertukaran ini diharapkan akan selesai sebelum 20 Januari mendatang.
Berbeda dengan kesepakatan terkait penghentian pertempuran di Hodeidah, kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan mengenai isu-isu yang berkaitan dengan bandara internasional di Ibu Kota Sanaa dan konsolidasi bank nasional.
Kelompok pemberontak Syiah Houthi mengumumkan kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintahan Yaman dan kesediaan penarikan pasukannya dari kota pelabuhan Al-Hudaydah selama perundingan damai yang diperantarai PBB di Swedia.
“Kami menyetujui gencatan senjata dan penarikan milisi di Al-Hudaydah di bawah pengawasan komite PBB,” ujar negosiator Houthi, Jamal Amer, dikutip dari Anadolu Agency.
Menurut Amer, pengawasan pelabuhan kota Al-Hudaydah akan dialihkan ke PBB.
Perundingan yang dimediasi PBB dimulai di Stockholm, Swedia, pada 6 Desember sebagai upaya untuk mengakhiri konflik militer selama empat tahun di Yaman.
Perundingan antara kedua pihak yang bertikai mencakup pembebasan tawanan, pertempuran di Al-Hudaydah, bank sentral Yaman, akses bantuan kemanusiaan, dan Bandar Udara Sana’a.
Mengenai Bandara Sana’a, Jamal Amer mengatakan bahwa kesepakatan awal terjadi antara kedua pihak selama peresmian bandara, di mana PBB mengambil alih pengawasan teknis semua bandara Yaman.
“Namun, pihak lainnya bersikeras bahwa bandara itu tetap lokal,” jelasnya.
Hingga saat ini, pemerintah Yaman belum menanggapi klaim Houthi tersebut.
Konflik Yaman telah menimbulkan krisis kemanusiaan di negara yang berpenduduk 28 juta jiwa itu, 8,4 juta orang diantaranya diyakini berada di ambang kelaparan dan 22 juta sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]