JAKARTA (Panjjimas.com) — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para pemohon terkait batas pernikahan anak perempuan 16 tahun. MK memerintahkan DPR untuk merevisi UU Perkawinan.
MK menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu masih berlaku hingga adanya perubahan sampai tenggat waktu yang ditentukan. MK memerintahkan DPR segera merevisi UU itu.
Sebelumnya, Maryanti (30) dan Rasminah (28) menggugat UU tersebut. Adapun perkara yang digugat para pemohon adalah permohonan judicial review Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan mengenai batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan.
UU Perkawinan pasal 7 menyebutkan batas usia menikah laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun. Para pemohon berharap batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan sama, yakni usia 19 tahun.
“Amar putusan mengadili untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa ‘usia 16 tahun’ UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Anwar usman dalam sidang pleno terbuka di gedung MK, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu (13/12/2018).
MK memerintahkan kepada DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khusus yang berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi anak, setidaknya dalam jangka waktu paling lama tiga tahun.
MK menyebut Indonesia sudah masuk dalam kondisi ‘Darurat Perkawinan Anak’. Data BPS tahun 2017 mencatat, pernikahan anak semakin meningkat. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.
“Jika dirunut ke belakang usulan penyempurnaan UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut telah masuk sejak Propenas tahun 2000-2004. Karena tidak berhasil, kemudian diteruskan dalam beberapa Prolegnas, yang terakhir adalah Prolegnas 2015-2019,” tulis MK.
Oleh karena itu, untuk menyempurnakan isi Undang-Undang agar sesuai dengan tujuan bernegara perlu didakan revisi UU tersebut. MK berpendapat perubahan UU Perkawinan harus segera diselesaikan.
Pandangan MUI
Sementara itu Majelis Ulama Indonesia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan anak bisa menimbulkan polemik.
“Putusan ini berpotensi menimbulkan polemik karena menyangkut hal yang sangat sensitif,” kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi di Jakarta, Jumat lalu.
Dia mengatakan MUI akan membentuk sebuah tim yang akan melakukan penelitian dan pengkajian terhadap putusan tersebut dan pada saatnya nanti MUI akan memberikan pendapat dan pandangan secara konprehensif.
Zainut mengingatkan kepada semua pihak bahwa UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi umat Islam bukan hanya sekadar mengatur norma hukum positif dalam perkawinan tetapi juga mengatur sah dan tidaknya sebuah pernikahan menurut ajaran agama Islam.
UU tersebut, kata dia, memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan ikatan emosional dengan umat Islam. “Sehingga kami mengimbau kepada semua pihak untuk bersikap arif dan berhati-hati jika berniat untuk mengubahnya,” kata dia.
Zainut mengaku khawatir meskipun putusan MK mengamanatkan untuk melakukan perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diserahkan melalui mekanisme pembahasan di DPR paling lambat tiga tahun sejak putusan diketok itu hanya dibatasi terhadap pasal 7 ayat (1) saja.
Namun pada praktiknya, kata dia, begitu masuk menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan diusulkan dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU), DPR bisa saja membuka ruang untuk mengubah dan membongkar pasal-pasal lainnya.
“Jika hal itu terjadi berarti putusan MK hanya dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen UU No 1 Tahun 1974 secara keseluruhan,” katanya.
Menurut dia, MUI berpandangan bahwa UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meskipun usianya sudah cukup tua tetapi masih relevan untuk tetap diberlakukan sehingga tidak perlu ada revisi atau perubahan. (des)