ADEN, (Panjimas.com) — Bentrokan terjadi antara pasukan pemerintah dan pemberontak Syiah Houthi di kota Al-Hudaydah, Yaman pada Ahad (16/12), meskipun telah disepakati gencatan senjata yang diperantarai PBB, demikian menurut sumber militer dan penduduk lokal.
“Pertempuran sengit meletus antara dua saingan di selatan kota,” ujar sumber militer itu dengan syarat berbicara secara anonim.
Sumber militer itu mengatakan bahwa pemberontak Houthi menyerang posisi pasukan pemerintah dengan peluru mortir.
Penduduk setempat mengatakan bentrokan terus terjadi antara kedua belah pihak di bagian Selatan kota Al-Hudaydah sejak Sabtu (15/12) malam.
“Para pemberontak membangun lebih banyak benteng di daerah itu,” ujar seorang penduduk setempat, dikutip dari Anadolu Agency.
Kekerasan terjadi meskipun ada kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi PBB pada Kamis (13/12) antara pemerintah Yaman yang diakui internasional dan pemberontak Syiah Houthi selama pembicaraan damai di Swedia.
Kelompok pemberontak Syiah Houthi mengumumkan kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintahan Yaman dan kesediaan penarikan pasukannya dari kota pelabuhan Al-Hudaydah selama perundingan damai yang diperantarai PBB di Swedia.
“Kami menyetujui gencatan senjata dan penarikan milisi di Al-Hudaydah di bawah pengawasan komite PBB,” ujar negosiator Houthi, Jamal Amer, dikutip dari Anadolu Agency.
Menurut Amer, pengawasan pelabuhan kota Al-Hudaydah akan dialihkan ke PBB.
Perundingan yang dimediasi PBB dimulai di Stockholm, Swedia, pada 6 Desember sebagai upaya untuk mengakhiri konflik militer selama empat tahun di Yaman.
Perundingan antara kedua pihak yang bertikai mencakup pembebasan tawanan, pertempuran di Al-Hudaydah, bank sentral Yaman, akses bantuan kemanusiaan, dan Bandar Udara Sana’a.
Mengenai Bandara Sana’a, Jamal Amer mengatakan bahwa kesepakatan awal terjadi antara kedua pihak selama peresmian bandara, di mana PBB mengambil alih pengawasan teknis semua bandara Yaman.
Konflik Yaman telah menimbulkan krisis kemanusiaan di negara yang berpenduduk 28 juta jiwa itu, 8,4 juta orang diantaranya diyakini berada di ambang kelaparan dan 22 juta sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]