JAKARTA, (Panjimas.com) – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan tentang batas usia perkawinan anak bersifat final dan mengikat. Tidak ada alasan hukum untuk menolaknya.
Dilansir republika, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menilai secara psikologis dan teologis putusan MK tersebut tidak ada masalah. Hal tersebut jika melihat tujuan perkawinan untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah sebagai fondasi membangun masyarakat dan bangsa yang kuat.
Semua pihak, termasuk pemerintah dan DPR harus mematuhi dan melaksanakan keputusan MK,” ujarnya, Kamis (13/12).
Mu’ti menjelaskan, dalam keluarga istri memiliki kedudukan yang penting. Pasalnya, disamping sebagai ibu dia juga pengasuh anak. Oleh karena itu, kedewasaan dan kualitas ibu sangat memengaruhu kualitas anak.
“Pada akhirnya juga menentukan kualitas umat dan bangsa,” katanya.
Secara teologis, lanjut Mu’ti, tidak ada ketentuan secara qoth’i batas minimal usia perkawinan. Menurutnya, batas minimal hanya hasil dari ijtihad. Dengan begitu ijtihad baru dapat dilakukan.
Mu’ti berpendapat batas minimal 18 tahun merupakan usia aman serta lebih menjamin masa depan pendidikan, kesehatan ibu, dan anak. Namun, Mu’ti menyadari masih ada kebiasaan nikah muda di masyarakat.
Persoalan ini, kata Mu’ti, dapat diatasi dengan dua cara yaitu dispensasi perkawinan sebagaimana yang berlaku saat ini. Kemudian pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait pendidikan, kesehatan, dan masa depan masyarakat.
“Perkawinan dini berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti perceraian, stunting, ekonomi, dan masalah sosial lainnya,” tuturnya.
Mu’ti juga menyoroti kekhawatiran masyarakat terkait perzinaan apabila tidak segera menikahkan anaknya meskipun usia dini. Menurutnya, penguatan pendidikan agama, perhatian orang, dan kepedulian masyarakat adalah jalan untuk mengatasi masalah tersebut. [RN]