KUALA LUMPUR, (Panjimas.com) — Berbagai Ormas Islam yang tergabung dalam MAPIM di Malaysia memprotes keras penindasan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Majelis Syura Ormas-ormas Islam Malaysia (MAPIM) menilai sudah selayaknya dunia memberikan perhatian terhadap situasi HAM di Xinjiang karena pelanggaran HAM telah berlangsung lama.
“Kebanyakan negara Islam seperti telah meletakkannya ke tepi nasib etnis Uyghur ini, hanya karena ingin melanjutkan hubungan ekonomi dengan China,” ujar Presiden MAPIM Mohd Azmi Abdul Hamid dalam pernyataannya, Jumat (14/12), dilansir dari Anadolu Agency.
Hamid menambahkan etnis Muslim Uighur menjadi sasaran kekerasan pemerintah China dengan dalih terlibat gerakan separatis.
“Rezim China sejak tahun lalu bukan saja telah meningkatkan penindasan atas etnis Uyghur, bahkan juga terhadap kaum Muslimin,” ungkap Azmi.
Hamid mengungkapkan para pelajar Muslim dari China yang datang untuk belajar ke Malaysia juga tidak terlepas dari pemantauan dari pemerintah Beijing.
Hamid mendesak pemerintah Malaysia tidak mengabaikan hak dan keselamatan Uyghur dan kaum Musim China hanya karena ingin menjaga hubungan perdagangan dengan China.
Hamid juga menyerukan Turki menjadi mitra negosiasi dan melakukan segala upaya untuk bernegosiasi dengan China.
Wilayah Xinjiang adalah rumah bagi sekitar 10 juta warga Uighur. Mereka sejak lama menuding otoritas China melakukan diskriminasi budaya, agama, dan ekonomi.
Dalam dua tahun terakhir, China memperketat pembatasannya di kawasan itu. Pembatasan itu termasuk melarang laki-laki berjenggot dan perempuan memakai jilbab.
Sebanyak satu juta orang, atau sekitar tujuh persen dari populasi Muslim di Xinjiang, saat ini ditahan di kamp-kamp “pendidikan ulang politik” .
Berbagai pihak mendesak Cina untuk menghentikan represi yang sistematis dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juga orang mayoritas Muslim yang ditahan secara sewenang-wenang di daerah otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).
Sebagaimana diketahui, Pemerintah setempat dalam setahun terakhir meningkatkan kampanye penahanan massal, pengawasan intrusif, indoktrinasi politik, asimilasi paksa terhadap etnis Uighur dan Kazakhs serta kelompok etnis lainnya.
Mayoritas keluarga korban tidak mendapatkan informasi mengenai nasib orang-orang yang mereka cintai. Mereka juga ketakutan untuk berbicara mengenai penahanan tersebut.
“Pemerintah Cina tidak boleh diijinkan untuk terus melakukan kampanye kejam ini terhadap etnis minoritas di barat laut Cina. Pemerintah di seluruh dunia harus meminta pertanggung jawaban Cina atas kekejaman yang terungkap di XUAR,” jelas Direktur Amnesty International Asia Timur Nicholas Bequelin dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/09).
Menurut Bequelin, keluarga etnis muslim tersebut telah cukup menderita. Ratusan ribu keluarga telah tercerai berai oleh kampanye masif ini. Mereka putus asa mencari informasi mengenai apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai.
“Sekarang waktunya otoritas Cina memberikan mereka jawaban,” pungkasnya.
Dalam laporan terbaru Amnesty International, “China Where are they? Time for answers about mass detentions in Xinjiang Uighur Autonomous Region“, Amnesty International memaparkan mengenai penderitaan orang-orang yang telah kehilangan kontak dengan keluarga ataupun teman mereka yang yang ditahan di XUAR.
Amnesty International mewawancarai lebih dari 100 orang di luar Cina yang telah kehilangan anggota keluarga mereka di XUAR dan orang-orang yang disiksa di kamp-kamp penahanan disana.[IZ]