ADEN, (Panjimas.com) — Seorang anggota delegasi Houthi untuk perundingan di Swedia, Jamal Amer mengatakan pihaknya menyetujui penarikan semua unsur milisinya dari kota Al Hudaydah, Yaman.
“Kami menyetujui penarikan diri dari kota Al Hudaydah, melaksanakan gencatan senjata mendesak dan komprehensif di atas pengawasan Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” ungkap Amir pada Kamis (13/12) dikutip dari Anadolu.
Amer mengungkapkan delegasi Houthi menerima penawaran pengawasan PBB di pelabuhan Al Hudaydah dan pelabuhan lainnya.
Pencabutan blokade di kota Taiz, kata Amir, kemungkinan akan kembali dibicarakan pada pertemuan berikutnya.
“Meski delegasi kami menyetujui hal tersebut, namun delegasi Riyadh (pemerintah Yaman) tak menyepakatinya,” tutur Amer.
Kendati demikian, delegasi Houthi menyetujui gencatan senjata secara komprehensif, pembukaan akses transportasi dan langkah-langkah menciptakan perdamaian.
Namun, pihak lain hanya bersikeras pada pembukaan akses transportasi dan penonaktifan ranjau darat, lanjut Amer.
“Mereka tak menyetujui gencatan senjata secara komprehensif,” tukas Jamal Amer.
Jamal Amer mengatakan bahwa semua perjanjian yang diajukan PBB ditolak oleh pemerintah Yaman.
“Masyarakat internasional dan Perwakilan Khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths masih terus melakukan penekanan terhadap pemerintah Yaman untuk meratifikasi perjanjian tersebut,” pungkasnya.
Dalam pertemuan Rabu (12/12) kedua pihak sepakat untuk melakukan pertukaran 16.000 tawanan pada 20 Januari yang dimediasi oleh Komisi Palang Merah Internasional (ICRC).
Pertukaran Tawanan
Pertukaran tawanan di Yaman akan memakan waktu beberapa pekan lamanya dan mungkin melibatkan pemulangan warga negara ketiga, yang ditangkap dalam perang hampir empat tahun itu, demikian menurut pejabat tinggi Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Selasa (11/12).
Kelompok Syiah Houthi Yaman dan pemerintah Hadi yang didukung Arab Saudi pada Selasa (11/12) bertukar daftar 15.000 tawanan untuk pertukaran, yang disetujui sebagai langkah membangun kepercayaan pada permulaan pembicaraan perdamaian, yang diperantarai PBB di Swedia.
Pembebasan dan pengiriman para tawanan itu akan dikelola oleh PBB dan ICRC, lembaga bantuan independen, yang mengatakan pekan lalu bahwa sekitar 5.000 hingga 8.000 tawanan dapat dipertukarkan, demikian menurut laporan Reuters.
“Kami tahu bahwa daftar (tawanan) telah dipertukarkan. Langkah itu akan memakan waktu beberapa pekan agar terjamin,” pungkas Johannes Bruwer, mantan Kepala Delegasi ICRC di Yaman, kepada para wartawan di Jenewa.
“Itu akan jadi langkah berikut dalam pembahasan setelah daftar tersebut dipertukarkan untuk melihat bagaimana pihak berbeda akan meminta kami menangani ini, dan bagaimana mereka akan meramalkan pemulangan warga negara ke negara ketiga,” jelasnya.
Arab Saudi memimpin koalisi negara-negara Teluk Arab dan dukungan Barat melancarkan serangan-serangan udara mendukung pemerintahan Yaman Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi melawan gerakan Syiah Houthi yang disokong Iran.
ICRC melihat “jumlah orang yang kekurangan gizi meningkat tajam selama beberapa bulan” di Yaman dan kelompok menengah “sudah tak ada lagi” di negara dengan 1,2 juta penduduk yang tak menerima gaji selama berbulan-bulan, ujar Bruwer.
Bahkan penghentian segera dalam permusuhan mungkin tak akan mencegah kelaparan di Yaman, bagi sekitar 22 juta orang, atau empat di antara lima penduduknya, bergantung pada bantuan,” jelas Bruwer.
“Barang dagangan perlu mengalir dengan pembatasan dikurangi. Itulah masalah di seluruh negara tersebut, tidak hanya di pelabuhan Hudaidah, bandara di Sana’a perlu dibuka,” tandasnya.
Konflik Yaman telah menimbulkan krisis kemanusiaan di negara yang berpenduduk 28 juta jiwa itu, 8,4 juta orang diantaranya diyakini berada di ambang kelaparan dan 22 juta sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]