JAKARTA, (Panjimas.com) — Ratusan masyarakat yang bergabung dalam aliansi organisasi masyarakat sipil dan NGO lingkungan menagih janji kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai masih melakukan kriminalisasi terhadap para aktivis dan pejuang yang menggugat masalah lingkungan hidup.
WALHI menyebut pada tahun 2018 kriminalisasi terhadap Pejuang Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia terus meningkat.
Dalam catatannya dari olah data di 13 provinsi saja, ungkap WALHI, tercatat 163 pejuang lingkungan yang mengalami dikriminalisasi.
“Tindakan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM lainnya tidak terlepas dari tindakan dan kebijakan negara yang masih mengandalkan investasi sebagai pilar utama pembangunan,” ujar Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Wahyu Perdana, di Jakarta, Selasa (11/12).
Dalam janji politik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla Nawa Cita 4, menurut WALHI telah disebutkan adanya jaminan kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi, dan penuntasan kembali hak tanah masyarakat.
Tidak hanya itu, tercantum juga soal perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarginal, serta penghormatan HAM.
Namun penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dirasa hanya sekedar janji tanpa implementasi yang jelas.
“Hal ini terlihat dari janji politik yang sama sekali tidak mengalami kemajuan yang baik, bahkan cenderung sama dengan apa yang terjadi pada pemerintahan lalu,” tukasnya, dikutip dari Anadolu Agency.
Pengabaian terhadap perlindungan para pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM ini dianggap para pejuang lingkungan bukan lagi sekadar ingkar terhadap komitmen politik 2014 lalu.
“Namun masuk pada pengingkaran hak asasi sebagai hak konstitusional yang telah diturunkan menjadi hak warga negara yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya,” tukas Wahyu.
Tak sampai di situ, secara statistik kasus, menurut WALHI terdapat kecenderungan peningkatan perkara yang menyudutkan pejuang lingkungan hidup, termasuk ahli yang digugat oleh korporasi pembakar hutan dan lahan serta penyelenggara negara yang sudah terbukti korupsi di sektor sumber daya alam.
Begitupun di sektor agraria. Pelanggaran dan perampasan hak atas tanah masyarakat disebut terus terjadi secara masif.
“Di banyak tempat, konflik agraria sering kali diikuti kriminalisasi, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap masyarakat dan petani yang mempertahankan tanah mereka,” ungkap Wahyu.
Sepanjang 2017, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 592 pejuang agraria dan petani (520 laki-laki dan 72 perempuan) yang menjadi korban akibat tindakan represif pemerintah di wilayah-wilayah konflik agraria.
“Mereka dikriminalisasi, dianiaya, ditembak bahkan tewas,” tandas Wahyu.
Saat ini, lanjutnya, masih ada 144.808 Kepala Keluarga (KK) di 444 lokasi yang tersebar di 20 provinsi yang menunggu itikad baik Negara untuk segera mengakui dan mengembalikan tanah-tanah mereka yang selama ini dirampas untuk kepentingan bisnis dan investasi.[IZ]