YERUSALEM, (Panjimas.com) — Puluhan pemukim ilegal Yahudi Israel menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsha di Yerusalem Timur pada Kamis (06/12), demikian menurut seorang pejabat Palestina.
“Sekitar 135 pemukim (ilegal) Yahudi menyerbu kompleks suci itu pagi ini,” ujar Firas al-Dibs, juru bicara Waqf Islam Yerusalem, sebuah organisasi yang dikelola Yordania yang bertanggung jawab untuk mengawasi situs-situs Islam di kota itu, dikutip dari Anadolu.
Menurut pejabat Waqf Islam Yerusalem, serbuan pemukim ilegal Yahudi – yang dimulai pada 2003 – ke Masjid al-Aqsa mengalami peningkatan yang luar biasa tahun ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang Israel telah mengizinkan para pemukim ilegal Yahudi memasuki ke kompleks Masjid Al-Aqsa – dan biasanya melalui Gerbang Magharba – dengan jumlah yang terus meningkat secara signifikan.
Selama 2017 saja, tercatat lebih dari 25.000 serangan yang dilancarkan para pemukim ilegal Yahudi ke kompleks Masjid Al-Aqsa, demikian menurut Badan Wakaf Islam yang dikelola Yordania. Sementara jumlah serangan pada tahun 2016 mencapai angka lebih dari 15.000.
Otoritas Palestina dan pemerintah Yordania telah berulang kali menuntut pihak berwenang Israel untuk melarang praktik-praktk serangan kaum Yahudi tersebut – akan tetapi tidak diindahkan Israel.
Serangan para pemukim ilegal Yahudi ke kompleks Masjid Al-Aqsa pada umumnya meningkat selama hari-hari raya keagamaan Yahudi.
Bagi umat Muslim, Al-Aqsa merupakan situs paling suci ketiga di dunia. Sementara para pemukim ilegal Yahudi merujuk daerah itu sebagai “Gunung Bait Suci”, mengklaim bahwa itu adalah tempat berdirinya dua kuil Yahudi zaman kuno.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Israel menduduki Yerusalem Timur selama Perang Timur Tengah tahun 1967. Israel kemudian mencaplok kota Yerusalem pada tahun 1980, mengklaim bahwa seluruh Yerusalem sebagai ibukota “abadi” negara Yahudi, namun langkah itu tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.[IZ]