BERLIN, (Panjimas.com) — Komisioner hak asasi manusia Jerman Baerbel Kofler mengkritik keras pemerintah China atas kebijakan represifnya terhadap Muslim Uighur di daerah otonomi Xinjiang.
“Saya terkejut dengan laporan perlakuan pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur, di mana lebih dari satu juta di antaranya diperkirakan dipenjarakan di kamp pengasingan di Xinjiang,” ujarnya dalam pernyataan, jelang pertemuan Dialog HAM Jerman-China, Kamis (06/12), dikutip dari Anadolu Agency.
“Sayangnya, permintaan kunjungan saya ke Xinjiang untuk berdialog ditolak, padahal saya ingin mengetahui situasi terkini di sana. Saya akan terus mengupayakan izin untuk mengunjungi Xinjiang,” jelas Kofler.
Pekan ini, Kofler mengunjungi China untuk menghadiri pertemuan Dialog Tahunan Hak Asasi Manusia Jerman-China.
Setelah berunding di Beijing, Kofler akan melakukan perjalanan ke Lhasa, Tibet, untuk memimpin pertemuan pada 6-7 Desember.
Wilayah Xinjiang adalah rumah bagi sekitar 10 juta warga Uighur. Mereka sejak lama menuding otoritas China melakukan diskriminasi budaya, agama, dan ekonomi.
Dalam dua tahun terakhir, China memperketat pembatasannya di kawasan itu. Pembatasan itu termasuk melarang laki-laki berjenggot dan perempuan memakai jilbab.
Sebanyak satu juta orang, atau sekitar tujuh persen dari populasi Muslim di Xinjiang, saat ini dikurung dalam kamp-kamp indoktrinasi politik atau ‘pendidikan ulang’.
Human Rights Watch mengungkapkan bahwa pemerintah China melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis terhadap muslim Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang.
Kebijakan Represif Terhadap Muslim Uighur
Pemerintah dan Parleman Jerman menuntut pemerintah Cina untuk mengakhiri kebijakan represif terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, bagian Barat Laut China.
Michael Brand, anggota Parlemen senior dari Partai Demokrat Kristen, Christian Democratic Union (CDU) partai Kanselir Angela Merkel, berjanji bahwa pemerintah Jerman akan terus mengangkat permasalahan hak asasi manusia dalam pembicaraan dengan para pejabat China.
“Dengan dalih perang melawan terorisme, penindasan brutal dan pelanggaran hak asasi manusia terus berlanjut di Xinjiang,” tukasnya.
Brand mengkritik pemerintah China karena mengklaim bahwa kamp pengasingan sebenarnya adalah “pusat pendidikan kejuruan”. Ia pun menekankan bahwa penjelasan semacam itu jauh dari masuk akal.
Sementara itu, mitra koalisi Kanselir Merkel, Partai Sosial Demokrat (SPD) mendukung seruan terhadap China untuk menutup kamp-kamp itu.
“Ketika kami membaca laporan Human Rights Watch, kami mendapat kesan bahwa Xinjiang telah menjadi penjara terbuka,” pungkas anggota parlemen SPD Frank Schwabe.
“Kami ingin transparansi penuh. Kami ingin memiliki kesempatan bagi semua badan PBB untuk dapat mengunjungi Xinjiang. Kami menyerukan kepada China untuk menutup kamp-kamp ini, ” imbuhnya.
Sementara, Partai Hijau (Green Party), kubu oposisi Jerman menuding pemerintah China melakukan pelanggaran HAM berat, dengan memaksakan indoktrinasi politik dan pengawasan besar-besaran di wilayah Xinjiang.
“Diperkirakan satu juta orang ditahan sewenang-wenang di kamp-kamp pengasingan di wilayah Xinjiang, Barat Laut China,” pungkas anggota Parlemen dari Partai Hijau Margarete Bause dalam debat parlemen tentang situasi hak asasi manusia di Xinjiang.
Bause mengkritik keras pihak berwenang atas tindakan keras mereka terhadap kebebasan beragama.
“Beribadah dilarang, Masjid dihancurkan. Tujuan dari semua tindakan ini adalah untuk secara sistematis menghilangkan budaya dan identitas minoritas Muslim di Xinjiang,” tandasnya.
Stefan Liebich dari kubu oposisi lainnya Partai Kiri (Left Party) mengatakan penahanan sekitar satu juta orang di kamp pengasingan di Xinjiang “tidak dapat diterima”.
Liebich mengakui bahwa kekhawatiran China atas stabilitas dan ancaman terorisme dapat dimengerti.
“Tapi hal itu tidak bisa membenarkan (kebijakan) pengawasan massal, mata-mata, kamp pengasingan dan penyiksaan,” tegasnya.[IZ]