DHAKA, (Panjimas.com) — Pemerintah Bangladesh baru-baru ini mengutuk keras pernyataan rasis seorang pejabat Myanmar yang menyebut Muslim Rohingya sebagai penganut agama ekstrim yang menjadi korban pencucian otak, Selasa (04/12).
Menteri Agama Myanmar Thura Aung Ko mengatakan Bangladesh tidak membiarkan warga Muslim Rohingya pulang kembali karena sedang dicuci otaknya.
“Agama ekstrim mendorong pria untuk memiliki tiga atau empat istri dan melahirkan 15 hingga 20 anak,” pungkasnya dalam sebuah video yang dirilis oleh Radio Free Asia.
“Setelah tiga, empat, sampai lima dekade di negara Buddha ini, komunitas Buddhis pasti akan menjadi minoritas,” imbuhnya.
Pada November, rencana pemulangan kembali 2.260 warga Rohingya dari kamp-kamp di Bangladesh ditunda karena para pengungsi Rohingya khawatir akan adanya penganiayaan lanjutan oleh pemerintah dan militer Myanmar.
Media setempat melaporkan bahwa Kementerian Luar Negeri Bangladesh memanggil Duta Besar Myanmar di Dhaka dan mengecam keras pernyataan tersebut. Kemlu Bangladesh mengatakan bahwa pernyataan itu mencerminkan kebijakan rasis Myanmar terhadap warganya.
Pejabat senior Kemlu Bangladesh mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintah Myanmar saat ini mengikuti prinsip rasis junta militer sebelumnya terhadap Muslim Rohingya untuk mendapatkan dukungan masyarakat lokal.
Dia juga membantah klaim bahwa Bangladesh menahan pengungsi Rohingya untuk kembali ke negaranya.
“Faktanya, sikap Myanmar terhadap Rohingya yang menyebabkan keengganan mereka untuk kembali,” tandasnya.
Kekerasan dan Penindasan
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul ‘Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira’.
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan — termasuk bayi dan anak kecil — pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan[IZ].