WASHINGTON, (Panjimas.com) — Dalam penyelidikan terkait penganiayaan pemerintah Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya berlangsung selama berbulan-bulan, sebuah kelompok hak asasi manusia yang bermarkas di Washington, Amerika Serikat (AS) menyimpulkan bahwa Muslim Rohingya adalah korban genosida.
Kelompok Hukum dan Kebijakan Publik Internasional (PILPG) yang berbasis di Washington menggelar konferensi pers Senin (03/12) lalu untuk mengungkap Temuan Fakta dan Laporan Analisis Hukum berdasarkan penyelidikan pada pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Laporan PILPG tersebut mengungkapkan bahwa kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida dilakukan oleh Myanmar terhadap penduduk Muslim Rohingya, dilansir dari Anadolu Agency.
Muslim Rohingya, dikategorikan PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, mereka telah menghadapi sejumlah serangan sejak insiden kekerasan komunal pada 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya – sebagian besar anak-anak dan perempuan – melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan kekerasan terhadap kelompok minoritas itu.
Departemen Luar Negeri AS telah menugaskan PILPG untuk melakukan investigasi hak asasi manusia yang komprehensif di kamp pengungsi Rohingya dan area permukiman di tenggara Bangladesh selama Maret-April tahun ini.
Pada September lalu, PILPG merilis laporan kualitatif yang menguraikan temuan faktual dan kesimpulan awal dari misi investigasi PILPG.
Laporan kedua, yang menyajikan temuan faktual kunci dan analisis wawancara, termasuk pola pelanggaran yang dilakukan terhadap Rohingya dan rekomendasi untuk upaya keadilan dan pertanggungjawaban di masa depan, dirilis pada Senin (03/12).
Pola Kekerasan Terhadap Rohingya
Laporan pertama mengungkapkan “pola kekerasan yang nyata terhadap Rohingya, beberapa di antaranya berlangsung selama beberapa dekade”.
Laporan tersebut didasarkan pada hasil wawancara dengan lebih dari 1.000 pengungsi yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, setelah bulan Oktober 2016.
“Wawancara ini mengungkapkan pola kekerasan sepanjang tahun dan pelanggaran HAM luas terhadap Rohingya, termasuk pembatasan jam malam dan mobilitas, penyitaan tanah dan properti, pembatasan akses terhadap makanan, pemerasan, kerja paksa, pemukulan, pemerkosaan, dan pembunuhan,” papar laporan PILPG tersebut.
Penganiayaan dan kekerasan atas Rohingya dimulai pada 2012 dan diintensifkan pada Agustus 2017, ketika tentara Myanmar melancarkan operasi militer yang kemudian memicu eksodus Rohingya ke Bangladesh.
Pelanggaran itu dilakukan oleh angkatan bersenjata Myanmar – terutama Tentara Tatmadaw – Pasukan Penjaga Perbatasan, Pasukan Tempur, dan Polisi Negara Bagian Rakhine.
Berdasarkan hasil penyelidikan PILPG, keberadaan militer dan polisi di Rakhine telah meningkat secara signifikan, selama beberapa pekan sebelum serangan sistematis besar-besaran terjadi sepanjang Agustus-September 2017.
“Serangan itu brutal. Dari 1.024 orang Rohingya yang diwawancarai, 20 persennya terluka akibat serangan itu, sementara hampir 70 persen menyaksikan rumah atau desa mereka dihancurkan, dan 80 persen menyaksikan anggota keluarga, kerabat, atau rekan mereka dibunuh,” ungkap PILPG.
Pembakaran Jasad
Laporan PILPG juga mengungkapkan bahwa para pelaku tak hanya ingin mengusir Rohingya, tetapi mereka ingin “memusnahkan” mereka.
“Kekerasan terhadap Rohingya direncanakan dengan matang, sistematis, dan besar-besaran untuk meneror Rohingya, sehingga membuat mereka tidak berdaya,” papar laporan PILPG tersebut.
“Angkatan bersenjata Myanmar membakar banyak jasad atau membuangnya di kuburan massal di dekat perairan, termasuk sumur,” tambah laporan itu.
Sementara itu, Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), dalam laporannya, menyebutkan bahwa sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya dibunuh oleh pasukan negara Myanmar.
Dalam laporan berjudul “Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira”, lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar hidup-hidup, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli.
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah milik Muslim Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak.
PBB mencatat adanya pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan paksa.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]