JAKARTA, (Panjimas.com) – Sampai pukul 9 pagi massa yang belum sampai ke sekitar Monas masih banyak. Mereka nyangkut di stasiun KA Gondangdia, Depok, di Taman Kota dll. Sedangkan yang sudah sampai ke lokasi acara Reuni 212 seakan menyatu sambung menyambung sampai ke Monas. Sampai ujung Sudirman dan semua akses yg ke Monas. Intinya, Massa Reuni 212 sampai ke Jl. Sudirman dan dari semua penjuru membeludak melebihi tahum 2016. Jadi jelas jutaan yang hadir.
Demikian kalimat pembuka awal dari tulisan bernas seorang Fuad Bawazier yang dulu pernah menjadi Menteri Ekonomi di zaman pak Harto dulu.
“Kita tunggu saja Laporan ‘resmi’ dan atau ‘rahasia’ atau media partisan yang biasanya isinya palsu yang akan mendeskreditkan jumlah massa yang hadir sebagai puluhan ribu atau paling seratus ribu saja. Maklum selain untuk menyenangkan bossnya. Pengecilan ini juga untuk menutupi laporan sebelumnya yang hanya memprediksi massa yang akan hadir paling 20.000an, dan kini ternyata meleset. Malu maluin,” tulis salah seorang pakar ekonomi Indonesia tersebut pada Ahad, (2/12).
Masih menurut Fuad Bawazier, ini juga pelajaran berharga bagi semua pihak yang selama ini berusaha keras untuk menggagalkan acara Reuni 212 tahun 2018 ini. Macam-macam cara dari yang halus sampai yang kasar, dari bujukan dan hadiah sampai tekanan, ancaman dan gangguan tranportasi, tetapi massa reuni tetap membludak dan massa justru semakin solid, sabar, militan, matang dan tahu siapa siapa yang ingin menggagalkan acara reuni 212.
“Kami melihatnya sebagai training untuk meningkatkan militansi umat. Sementara mereka yang ingin menggagalkan Reuni bukan saja menghabiskan banyak dana dan gelisah, tetapi semakin terkuak kartunya. Luar Negeri pun terus menyorot pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Bahkan sudah ada yang menilai atau mencemaskannya sebagai memasuki era repressif,” tutur Fuad.
Ada juga menurutnya yang menuduh bahwa massa yang hadir ke Reuni 212 dibayar Rp100ribu/orang. Jelas ini tuduhan ngawur dan motipnya mudah ditebak, yaitu mereka ingin ngadakan tandingannya dan akan meminta pada sang bandar yang sedang galau agar disiapkan dana sekurangnya sama Rp100ribu/orang. Projek ongkos!
Padahal ini aksi damai dan perwujudan demokrasi yang dijamin konstitusi UUD 1945. Mereka yang Reuni ini paham betul dan pendukung setia NKRI dan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ikanya, serta mempraktekkannya tanpa koar koar. Peserta REUNI 212 juga tahu sejarah lahirnya NKRI, Pancasila dan menjaga kerukunan, serta merawat kebangsaan dan menyadari betul arti kebersihan, ketertiban dan keamanan dalam berdemo.
“Bahkan yang hadir ke Reuni dari semua aliran, agama dan etnis. Tidak ada yang bayaran. Yang ada kesadaran. Catatan penting lain adalah pertanyaan siapa sebenarnya motor penggerak Aksi Damai jutaan orang yang ditaksir melebihi jamaah haji di Padang Arafah ? Tentu saja para ulama yang dulu juga menggerakkan Aksi Damai 411 dan 212 tentang penodaan agama, dengan tokoh sentralnya Habib Riziek Shihab (HRS),” tulis DR Fuad Bawazier di catatannya.
Selanjutnya, aksi ini sekaligus sebagai pelajaran berharga: Bagi mereka yang selama ini mendzalimi HRS hingga Hijrah ke Makkah. Ternyata HRS justru semakin di dengar, diikuti, dan di cintai umat. Sebaliknya terhadap ulama atau tokoh yang meninggalkan semangat dan cita cita 411 dan 212, yang dicuekin.
“Bagi pengamat atau lembaga survei yang menganggap kekuatan 212 itu tidak ada apa apanya atau kecil dibandingkan dengan ormas ormas lama dan mapan, yang belum tentu mampu menghimpun massa dalam jumlah sebesar massa 212. Massa ini datang dengan ongkos sendiri, bukan bayaran,” tandasnya.
Lebih lanjut dirinya mengatakan. Begitu juga bagi tokoh, ulama dan ormas yang sering mengklaim sebagai “pemilik” massa yang datang ke Reuni adalah atas himbauan, arahan atau restunya. Kini saat mereka menghimbau tidak perlu datang ke Reuni 212, justru semakin banyak massa yang hadir. Massa ini sudah menemukan pemimpin atau ulama (baru) yang istikomah, yang dapat di percaya, yang tidak mudah tergoda duniawi.
“It goes without saying, aspirasi politik 2019 merekapun jelas kemana.
Sekarang kita tahu siapa yg harus belajar dari siapa. Siapa yg harus menyontoh dan di contoh. Sing becik ketitik Sing olo kentoro. Siapa yg bohong, siapa yg jujur. Zaman berputar dan yg menang yg sabar dan benar,” pungkasnnya yang langsung mengamati kondisi di lapangan. [ES]