BANGKOK, (Panjimas.com) — Gerilyawan Barisan Revolusi Nasional (BRN), atau seringkali disebut sebagai gerakan kemerdekaan Melayu Pattani, menolak untuk berpartisipasi dalam putaran pembicaraan damai terakhir di Thailand selatan, dilansir dari Bangkok Post pada Rabu (28/11).
Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan Prawit Wongsuwon mengatakan BRN telah menolak tiga undangan untuk negosiasi antara pemerintah dan Majelis Syura (Mara) Patani.
Pemerintah Thailand dan Malaysia telah mencoba menghubungi elemen gerilyawan dari BRN, tetapi mereka bersikeras tak akan mengambil bagian dalam negosiasi damai, ujar Prawit.
Jenderal Udomchai Thammasaroraj, ketua baru tim negosiasi Thailand, mengatakan dia tidak yakin apakah putaran baru pembicaraan perdamaian yang dikoordinasi oleh mantan kepala polisi Malaysia Abdul Rahim Noor dapat dilakukan tahun ini.
Menurutnya, fasilitator dari Malaysia adalah orang yang baru dan perlu banyak waktu untuk menyiapkan tim perundingan damai.
“Sekarang kita meminta Malaysia untuk mencoba melibatkan gerilyawan BRN dalam perundingan yang baru, tapi BRN belum menerima undangan dialog,” tukasnya.
“Kita ingin mereka terlibat karena BRN sangat aktif terkait dengan kekerasan di selatan,” klaimnya.
Dia mengatakan pemerintah Thailand berharap Malaysia dapat sukses melibatkan BRN dalam pembicaraan damai yang baru.
Bulan lalu, juru bicara BRN Abdul Karim mengatakan kelompoknya tidak menolak penyelesaian konflik di Patani melalui jalur politik.
Namun Abdul Karim menegaskan perundingan damai harus melibatkan pihak-pihak yang berkonflik.
Dalam konteks di Patani, lanjut Abdul Karim, pihak utama yang berkonflik adalah pemerintah Thailand dan BRN.
“Maka proses perundingan penyelesaian konflik harus melibatkan kedua pihak ini,” ujar Abdul Karim dalam pernyataannya.
Abdul Karim juga meminta proses perundingan damai hendaklah mengikut norma internasional dengan melibatkan komunitas internasional seperti “international contact group” dan para pemerhati.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad Oktober lalu melakukan kunjungan bersejarah ke Thailand untuk membicarakan kelanjutan perundingan damai di selatan Thailand.
Dalam kunjungan pertamanya ke Thailand setelah menjabat, Mahathir berjanji membantu mengakhiri siklus kekerasan di wilayah tersebut.
Menurut Mahathir, konflik selatan Thailand merupakan kesempatan kedua negara untuk menunjukkan persahabatan satu sama lain.
Komitmen Mahathir
Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohamad berkomitmen untuk turut mendorong perdamaian di Thailand Selatan.
Wilayah Thailand Selatan mayoritas berpenduduk Muslim, termasuk tiga provinsi, yakni Yala, Narathiwat, dan Pattani, tempat insurgensi dan konflik yang merenggut sekitar 7.000 jiwa selama puluhan tahun.
“Kami berjanji membantu dengan cara apa pun yang mungkin untuk mengakhiri kekerasan di selatan itu,” ujar Mahathir Muhammad kepada para wartawan usai bertemu dengan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dalam kunjungan pertamanya ke Thailand sejak kemenangan menakjubkan dalam pemilihan umum pada Mei.
“Itu bukan hanya masalah berbicara atau menyusun perjanjian. Itu betul-betul kerjasama dua tetangga bersahabat dan kami ingin melanjutkan persahabatan itu,” pungkas Mahathir.
Malaysia, yang berpenduduk sebagian besar Muslim, membantu mengatur pembicaraan perdamaian pemerintah Thailand dengan kelompok pemberontak, tapi kemajuan masih belum signifikan sejauh ini.
Aksi pemberontakan di wilayah selatan berakar pada konflik etnis budaya berabad lamanya antara pihak Muslim Melayu yang tinggal di wilayah selatan dan pemerintah pusat Thailand yang menjadikan Buddhisme sebagai agama nasional secara de-facto.
Kekacauan di wilayah selatan telah berakar lama pada konflik lama berbasis etnis-budaya antara Muslim Melayu (Pattani) yang hidup di 4 Provinsi dan di pusat kota Thailand, dimana Budhisme menjadi agama resmi secara de-facto bagi Negara
Kelompok-kelompok perlawanan bersenjata dibentuk pada tahun 1960 setelah rezim diktator kemudian rezim militer mencoba mengintervensi sekolah-sekolah Islam, akan tetapi pemberontakan memudar pada sekitar periode1990-an.
Pada tahun 2004, sebuah gerakan bersenjata muncul dan dihidupkan kembali, kelompok itu terdiri dari banyak sel-sel lokal para pejuang Muslim yang kemudian dikelompokkan menjadi sebuah organisasi bernama Front Revolusioner Nasional atau BRN.
Sejak itu, konflik telah menewaskan lebih dari 6.500 jiwa dan melukai lebih dari 11.000 orang, Konflik tersebut kemudian tercatat sebagai salah satu konflik berintensitas rendah yang paling mematikan di dunia.
Perlawanan Muslim Pattani Akibat Kekejaman dan Penyiksaan Rezim Militer
Meskipun tahun 2015 terjadi penurunan yang signifikan dalam jumlah serangan bom di daerah Thailand bagian Selatan, para aktivis prihatin dengan tindakan kejam militer yang semakin sewenang-wenang, menangkapi Muslim Pattani dan melakukan penyiksaan di daerah itu selama penahanan militer, dilansir oleh Anadolu
Media setempat Bangkok Post, Februari 2016 lalu melaporkan Muhammad Ayub Pathan, Ketua Dewan Masyarakat Sipil Wilayah Selatan (Chairman of the Southern Civil Society Council), mengatakan bahwa bagi banyak orang di provinsi-provinsi selatan Pattani, Yala, Narathiwat dan beberapa distrik Songkhla yang mengalami kekerasan dan terus berlanjut semakin parah.
“Tetapi ruang sosial-politik telah dibuat sejak dialog perdamaian [dimulai pada tahun 2013 oleh pemerintah pasca kudeta, mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra] yang diresmikan 3 tahunlalu,” kata Ayub Pathan kepada Bangkok Post, Ia menyebut hal itu sebagai terobosan “yang luar biasa”
Menurut statistik yang dikumpulkan oleh Southernmost Provinces Research Database, berkenaan dengan akademik, bahwa jumlah pemboman telah menurun dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 49 persen pada tahun 2015, bahkan mencapai 65 persen di 2007 – dimana wilayah Selatan Muslim Pattani telah mengalami insiden yang paling kejam sejak tahun 2004.
Sementara menyambut penurunan jumlah kekerasan, para tokoh masyarakat sipil lainnya, bagaimanapun, tetap berjaga-jaga dalam optimisme mereka, manakala kembali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Di tingkat kebijakan, aparat keamanan mengumumkan seperangkat prosedur yang baik akan tetapi dalam operasi-operasi yang sebenarnya untuk patroli, penahanan, pencarian dan penangkapan adalah sesuatu yang lain sama sekali,”Anchana Heemmina, Direktur Duay Jai, yang telah lama menyelidiki situasi hak asasi manusia di wilayah selatan Thailand, mengatakan kepada Bangkok Post.
“Orang-orang di daftar tersangka militer ditangkap, bahkan ketika mereka tidak memiliki catatan kriminal, dan banyak terjadi penggrebekan rumah untuk mengumpulkan sampel DNA, hal ini telah menjadi suatu norma,” imbuhnya.
Anchana Heemmina, mewakili suara para Aktivis, juga menyatakan keprihatinan mendalamnya tentang penyiksaanyang terjadi selama penahanan militer.
“Setelah para tersangka berada di bawah tahanan militer, sulit untuk mendapatkan bukti penyiksaan yang dapat menyebabkan hukuman dan tuntutan bagi para pelaku.”
Organisasi hak asasi manusia telah mendokumentasikan 28 kasus penyiksaan selama penahanan militer, termasuk diantaranya berjumlah 15 kasus pada tahun 2015.
Tahun lalu, Pengadilan Thailand meminta otoritas secara finansial memberi kompensasi korban dalam 3 kasus penyiksaaseperti itu, tapi tidak ada pejabat yang didakwa sebagai kriminal.[IZ]