RAKHINE, (Panjimas.com) — Para pengunjuk rasa di Myanmar menggelar aksi protes terhadap rencana pemulangan kembali para pengungsi muslim Rohingya dari Bangladesh, dengan menyebut mereka sebagai “pengungsi yang melarikan diri”.
Sekitar 100 orang yang dipimpin oleh para biksu Buddha menggelar aksi unjuk rasa melalui ibukota negara bagian Sittwe dengan memegang spanduk merah dan meneriakkan slogan-slogan.
“Semua orang bangsa ini bertanggung jawab melindungi keamanan negara,” ujar seorang biksu, berdasarkan siaran Facebook live streaming dari aksi protes tersebut.
“Tidak akan ada manfaat bagi kami atau negara kami jika kami menerima orang Bengali,” tegasnya, Biksu itu menggunakan istilah yang merendahkan Rohingya yang secara keliru menyiratkan bahwa mereka adalah pendatang baru dari Bangladesh, dikutip dari Anadolu Agency.
Aksi demonstrasi ini dilakukan 10 hari setelah Bangladesh dan Myanmar seharusnya secara resmi mulai memulangkan kembali minoritas Rohingya yang melarikan diri dari operasi militer pada Agustus 2017.
Pengungsi Rohingya di Bangladesh mengatakan pasukan bersenjata Myanmar memperkosa wanita, membunuh kerabatnya dan membakar rumah-rumah bahkan desa-desa mereka dalam upaya mengusir mereka dari negara itu selama beberapa dekade.
Kesepakatan untuk membawa mereka kembali terjadi setahun yang lalu, akan tetapi pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian merasa takut untuk kembali tanpa jaminan kewarganegaraan, keamanan, dan akses yang sama terhadap perawatan kesehatan dan pendidikan.
Mereka juga khawatir terhadap permusuhan dari penduduk non-Muslim di Rakhine yang banyak di antaranya tidak ingin Rohingya kembali.
Para pengunjuk rasa Buddhis di Sittwe Ahad (25/11) lalu mencerminkan pandangan itu, dengan memegang spanduk-spanduk atau tanda termasuk seruan kepada pihak berwenang untuk “mengambil tindakan” terhadap imigran gelap dan tidak “mengizinkan pemukiman kembali para pengungsi yang melarikan diri” di beberapa bagian negara bagian Rakhine Utara.
Peneliti PBB punn mendesak petinggi Myanmar untuk dituntut atas tuduhan genosida di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atau pengadilan ad hoc.
Aksi unjuk rasa menentang kehadiran Rohingya tidak jarang terjadi di Sittwe, di mana kekerasan antar-komunitas terjadi pada 2012, menewaskan ratusan orang dan mengirim lebih dari 120.000 Rohingya ke kamp-kamp pengungsi internal di mana kebanyakan tetap tinggal hari ini.[IZ]