CIANJUR (Panjimas.com)– Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Cianjur, Jawa Barat, mencatat selama periode Januari-September 2018 terdapat 95 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) baru. Jumlah ODHA dari tahun 2001 hingga 2018 berjumlah 916 orang, namun selama ini hanya sebagian yang rutin memeriksakan diri dan berobat.
Sekretaris KPA Cianjur, Hilman di Cianjur Rabu, mengatakan pada triwulan kedua atau periode Januari hingga Juni tercatat ada 57 ODHA, namun pada September angkanya sudah mencapai 95 ODHA baru.
“Jadi dalam waktu tiga bulan ada 38 ODHA baru. Kemungkinan hingga akhir tahun akan terus bertambah. Bisa lebih dari 100 ODHA baru yang ditemukan selama 2018,” katanya.
Dia menjelaskan temuan akan terus ada setiap tahun sebagai bukti kinerja pencatatan dan pendataan ODHA terus dilakukan. Dia menargetkan tahun ini pendataan akan mencapai angka maksimal hingga seluruh ODHA di Cianjur tercatat.
“Seperti fenomena gunung es, hanya sedikit di permukaan, tapi yang tidak nampak lebih banyak. Makanya kami terus bergerak mencatat dan mendata, supaya data yang tidak nampak bisa diketahui. Mirisnya setiap tahun ODHA baru didominasi kaum gay atau laki-laki seks laki-laki (LSL),” katanya.
Jumlah pengidap HIV/AIDS dari LSL mencapai 40 persen dari ODHA yang ditemukan setiap tahunnya dan lebihnya bervariasi dari ibu rumah tangga, pekerja seks dan lainnya.
Ia menilai angka harapan hidup dari pengidap HIV/AIDS di Cianjur, tidak dapat ditentukan berapa lama karena harus dilihat dari tingkatan penyakit dan pengobatannya.
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dermawan mengatakan situasi HIV/AIDS di Indonesia sudah semakin mengkhawatirkan karena pengidap terbanyak pada usia produktif antara 20 hingga 30 tahun.
“Semakin memprihatinkan dan mengkhawatirkan karena ditemukan faktor penyebab ‘tidak diketahui’ yang menjadi lebih dominan,” kata Dermawan di Jakarta, Kamis.
Dermawan mengatakan isu degradasi moral kemanusiaan seperti kesetiaan dalam hubungan suami istri dan prostitusi yang semakin marak diduga menjadi faktor penyebab “tidak diketahui” tersebut.
Yang tidak kalah miris adalah aktivitas seksual berisiko, baik oleh pasangan heteroseksual maupun homoseksual, juga melibatkan pelaku usia anak. “Kondisi tersebut memiliki risiko terjangkit HIV tiga kali hingga lima kali lipat lebih besar,” katanya.
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang dianggap momok. Pengidapnya tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Data Kementerian Kesehatan pada 2017, tercatat 280.623 jiwa terinfeksi HIV, 17.288 diantaranya adalah anak-anak dengan perincian usia nol hingga empat tahun 8.564 anak dan usia 15 tahun hingga 19 tahun 8.724 anak.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam penanganan HIV/AIDS adalah upaya pencegahan dini yang sulit dilakukan karena tidak semua pengidap mau atau berani memeriksakan diri ke lembaga layanan. (des)