JAKARTA (Panjimas.com) — Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, BIN hanya memunculkan kegaduhan baru di tengah masyarakat dengan mengungkapkan survei P3M NU. Padahal, menurutnya, informasi intelijen tidak seharusnya diumbar ke publik.
Sebelumnya, Staf Khusus Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Arief Tugiman mengungkapkan ada 41 masjid di kementerian dan lembaga yang terpapar paham radikalisme. Hal ini dia sampaikannya dalam diskusi Peran Ormas Islam Dalam NKRI di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Sabtu (17/11) lalu.
Arief menjelaskan, 41 masjid itu terdiri dari 11 masjid kementerian, 11 masjid di lembaga dan 21 masjid BUMN. Dari data ini, Arief menjelaskan jika ada tujuh masjid dengan paparan radikalisme kategori rendah, 17 masjid terpapar radikalisme kategori sedang dan 17 masjid terpapar radikalisme kategori tinggi.
Pengungkapan hasil survei terhadap 41 masjid itu kini menjadi polemik. Diketahui, BIN mendapatkan hasil survei itu dari Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Nahdlatul Ulama (P3M NU).
“Pengumuman-pengumuman seperti itu malah akan menimbulkan kecurigaan ya,” kata Fadli Dzon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/11) lalu.
Menurutnya, definisi dan kriteria radikalisme yang dimaksud BIN tidak jelas. Ia menganggap perlu ada penjelasan lebih lanjut terkait kriteria radikalisme tersebut. Selain itu, politikus Partai Gerindra tersebut juga menilai perlu evaluasi terkait program deradikalisasi yang didanai APBN. “Jadi harusnya program itu yang dievaluasi apakah program (deradikalisasi) ini berjalan atau tidak gitu,” tuturnya.
Sementara itu, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mustafa Kamal mengkritisi BIN. Menurut Mustafa BIN seharusnya dapat memilah dan memilih terlebih dahulu terkait informasi apa saja yang akan disampaikan ke masyarakat.
“Bukan menjadi informasi mentah yang dilempar ke publik lalu menjadi kontroversi itu yang kemudian membuat suasana justru menjadi tidak stabil, kita bisa saling curiga saling tuding menuding,” kata Mustafa di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/10).
Mustafa menganggap informasi intelijen itulah yang kemudian diolah untuk kemudian dibuatkan kebijakannya. Menurutnya, kebijakan itulah yang kemudian disampaikan kepada publik.
“Tentu saja sebijak-bijaknya namanya kebijakan harus bijak bagaimana kemudian membuat suasana yang kondusif, apalagi ini sekarang bulan-bulan, hari-hari menjelang pemilu 2019 pileg, pilpres, pemilihan DPD,” tuturnya.
Anggota parlemen tersebut berharap pemerintah lebih kompak dan dapat melihat segala persoalan secara utuh. Kemudian pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih bijak.
“Masjid-masjid itu kan tempat orang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa untuk menenangkan diri untuk memperdalam keyakinannya, jangan sampai kemudian menjadi permasalahan kepada umat-umat tertentu lalu akhirnya kegiatan agama yang seyogiyanya menjadi kontributor bagi stabilitas politik justru malah menjadi sesuatu yang tidak kontributif,” ucapnya.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama (Kemenag), Amsal Bakhtiar berencana untuk memanggil BIN untuk menanyakan temuan 50 penceramah yang terindikasi menyebarkan radikalisme.
“Perlu klarifikasi dulu ke BIN ya. Ada rencana saya memang mau mengundang BIN juga ke kantor untuk mendapatkan informasi itu,” ujar Amsal, seperti dilansir Republika, Rabu (21/11).
Menurut dia, BIN perlu memberikan klarifikasi terkait hasil temuan tersebut sehingga masyarakat, khususnya umat Islam tidak saling mencurigai satu sama lain. Namun, kata dia, BIN biasanya tidak terbuka dalam memberikan nama-nama penceramah dengan alasan bukan konsumen publik. “Tapi kan kemudian BIN atau BNPT dalam penanganannya tidak mau terbuka mengasih nama, itu yang sulit, sehingga masyarakat saling curiga,” ucapnya.
Dia menuturkan, Balitbang Kemenag sebelumnya juga sudah biasa mengundang lembaga-lembaga riset yang terkait dengan pendidikan agama dan keagamaan. Misalnya, PPIM UIN Jakarta, Wahid Institute, LP3M, dan Serta Institut.
“Kita undang untuk memaparkan hasil penelitian mereka, benar apa nggak? Dan bagaimana metodenya? Kan kita tidak bisa mengklaim dulu. Kemudian berapa kali dia melakukan dan mendengar ceramah?” katanya.
Kemudian, tambah dia, jika temuan BIN tersebut benar, maka perlu melakukan klarifikasi terhadap penceramah yang terindikasi radikal tersebut. “Kalau seumpamanya ada kan kita bisa melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan atau kita ricek lagi. Sebab, dalam prinsip kami di penelitian tidak boleh marah-marah. Yang boleh kalau tidak setuju, ya teliti lagi dengan metode mereka. Itu namanya cek dan ricek,” jelasnya. (des/Sumber: republika)