ANA’A, (Panjimas.com) — Sebanyak 85.000 anak-anak di bawah usia 5 tahun di Yaman mati karena kelaparan sejak perang sipil di negara itu dimulai, demikian menurut laporan Save the Children, Rabu (21/11).
Menurut data PBB, Save the Children menemukan bahwa antara April 2015 dan Oktober 2018, sekitar 84.701 anak di bawah usia 5 tahun meninggal karena kasus kekurangan gizi akut yang parah – atau kelaparan.
PBB telah memperingatkan bahwa hingga 14 juta orang berada dalam risiko kelaparan, dan telah meningkat secara dramatis sejak koalisi Saudi dan yang dipimpin oleh Emirat menjatuhkan blokade Yaman selama sebulan lebih hanya setahun lalu.
Sejak itu, impor komersial makanan melalui bandara utama Yaman di Hudaidah menurun lebih dari 55.000 metrik ton per bulan, kata kelompok itu.
“Setiap penurunan impor lebih lanjut kemungkinan bisa mengarah langsung ke kelaparan,” paparnya memperingatkan.
Direktur Save the Children Cabang Yaman, Tamer Kirolos, mengatakan bahwa pihaknya merasa ngeri dengan jumlah anak-anak yang mungkin telah mati karena kelaparan ekstrem di Yaman.
“Untuk setiap anak yang dibunuh dengan bom dan peluru, lusinan mati kelaparan,” tandasnya.
Anak-anak yang mati dengan cara ini sangat menderita ketika fungsi organ vital mereka melambat dan akhirnya berhenti, tutur Kirolos.
Sistem kekebalan tubuh mereka sangat lemah sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi dengan terlalu lemah untuk bahkan menangis, kata dia.
“Orang tua harus menyaksikan anak-anak mereka menghambur-hamburkan pergi, tidak bisa berbuat apa-apa,” imbuhnya.
Pertempuran, blokade dan birokrasi di Hodeidah telah memaksa kelompok itu untuk membawa pasokan penting bagi bagian utara negara itu melalui pelabuhan selatan Aden, tulis pernyataan itu.
Menurut PBB, Yaman adalah krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Ketika konflik memasuki tahun keempat, sekitar 14 juta orang di Yaman, atau setengah dari total populasi negara itu, berada dalam risiko kelaparan.
18 Juta Warga Yaman Terancam Kelaparan
Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP), David Beasley melaporkan 18 juta penduduk di Yaman terancam kelaparan.
David Beasley menjelaskan situasi di Yaman, usai mengunjungi negara yang mengalami krisis kemanusiaan terburuk di dunia itu, di mana perang sipil masih berlanjut di sana. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers di Markas Besar PBB, di New York.
Beasley memperingatkan bahwa rakyat Yaman berada di ambang kelaparan.
”Sekitar 18 juta orang di Yaman menghadapi ancaman kelaparan,” pungkasnya.
David Beasley mengatakan, delapan hingga 14 juta orang di negara itu menderita kelaparan kronis, sedang kondisi di rumah sakit sangat menyedihkan.
Sebegitu parahnya kondisi di sana, Beasley mengibaratkan seperti “menggelitik hantu” saat mencoba membuat tersenyum seorang anak yang berada di rumah sakit yang ia kunjungi di sana.
Program Pangan Dunia PBB, World Food Program (WFP) berencana untuk menafkahi 14 juta orang per bulan di Yaman untuk mencegah krisis kelaparan terbesar di dunia, demikian penjelasan WFP, Jumat (09/11) lalu.
Juru bicara WFP Herve Verhoosel mengatakan WFP memberikan bantuan kemanusiaan kepada 8 juta orang setiap bulan di Yaman, saat berbicara dalam konferensi pers di Jenewa, dikutip dari Anadolu.
Menanggapi situasi krisis kelaparan di negara itu, Verhoosel mengatakan jumlah orang yang menghadapi darurat rawan pangan dan dekat dengan kelaparan “bisa meningkat menjadi 12 bahkan 14 juta orang”.
Verhoosel juga menyinggung pelabuhan Al-Hudaydah untuk mengakses Yaman yang diblokade Arab Saudi agar dibuka.
“Pelabuhan perlu tetap terbuka. Untuk masa depan, kita harus menjangkau lebih banyak orang. Kita akan membutuhkan lebih banyak akses,” jelasnya.
PBB: Setengah Rakyat Yaman Terancam Kelaparan
Sebelumnya, Kepala Bantuan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan indikasi bahaya dalam pertemuan Dewan Keamanan Selasa (23/1/20180).
Menurutnya, setengah penduduk Yaman akan segera berada di tepi jurang kelaparan.
Mereka bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan untuk tetap bertahan hidup.
“Sekarang sudah tampak jelas akan terjadi bahaya kelaparan besar dan segera di Yaman: jauh lebih besar daripada apa yang para ahli di lapangan lihat dalam menjalankan profesi mereka selama ini,” ujar Mark Lowcock.
Ia menggambarkan skala dari apa yang sedang dihadapi Yaman, dengan jumlah penduduk sebanyak 14 juta jiwa, “mengagetkan” mengingat hanya ada dua bencana kelaparan yang telah dinyatakan di dunia dalam 20 tahun terakhir, yakni di Somalia tahun 2011 dan di Sudan Selatan tahun lalu, dikutip dari Reuters
Perebutan pengaruh sedang berlangsung di Yaman antara Iran dan Arab Saudi. Koalisi militer pimpinan Saudi terlibat di Yaman pada tahun 2015, dengan mendukung pasukan pemerintah memerangi kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran. Sementara, Iran terus membantah memasok senjata ke Houthi.
Mark Lowcock mengatakan PBB saat ini mengoordinasikan pengiriman bantuan bagi sebanyak delapan juta rakyat Yaman, dan menyatakan krisis kemanusiaan telah diperdalam krisis ekonomi dan pertempuran yang berlanjut di sekitar pelabuhan kunci Hudaydah di negara itu. Yaman biasanya mengimpor 90 persen pangannya.
Ia mengimbau gencatan senjata bagi kemanusiaan, perlindungan pasokan makanan pokok dan bahan-bahan penting di seluruh negara itu, suntikan mata uang asing lebih besar dan cepat ke dalam perekonomian melalui bank sentral, meningkatkan pendanaan dan dukungan kemanusiaan, dan bagi pihak-pihak yang berperang untuk melakukan pembicaraan perdamaian.
Perang Yaman, ‘Neraka’ Bagi Anak-Anak
UNICEF baru-baru ini mengungkapkan fakta memprihatinkan perihal konflik Yaman. Perang yang telah berlangsung lebih tiga tahun itu telah memporakporandakan negeri.
“Konflik telah membuat Yaman seperti neraka bagi anak-anaknya,” pungkas Meritxell Relano, Perwakilan UNICEF di Yaman, dikutip dari Reuters.
Di bangsal bagi pasien yang menderita kekurangan gizi sebuah rumah sakit di Sana’a, ibu kota Yaman, para dokter menimbang berat badan bayi-bayi yang tulang-belulangnya tampak terlihat dengan alat seadanya.
Sebanyak 20 anak, yang sebagian besar berusia dua tahun, dirawat di bangsal Rumah Sakit Sab’een, mereka termasuk di antara ratusan ribu anak-anak yang menderita kekurangan gizi akut di negara miskin nan penuh konflik tersebut.
Relano mengatakan lebih 11 juta anak-anak Yaman menghadapi ancaman kekurangan pangan, penyakit, dan ketiadaan akses ke layanan sosial dasar. Jumlah tersebut mencapai 80 persen dari jumlah populasi penduduk negara itu yang berusia di bawah 18 tahun.
“Sekitar 1,8 juta anak-anak kekurangan gizi di negara itu. hampir 400 ribu di antara mereka menderita kurang gizi akut dan mereka berperang untuk bertahan hidup setiap hari,” ujar Meritxell Relano.
Konflik Yaman telah menimbulkan krisis kemanusiaan di negara yang berpenduduk 28 juta jiwa itu, 8,4 juta orang diantaranya diyakini berada di ambang kelaparan dan 22 juta sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]