SOLO (Panjimas.com) – Dalam Muhammadiyah ajaran ta’awun sejiwa dan seiring dengan spirit Al-Ma’un sebagaimana menjadi salah satu ciri gerakan Islam ini sejak didirikannya oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan 106 tahun yang silam. Bahwa setiap muslim yang menganut Islam dia harus mewujudkan agamanya dalam membela dan memberdayakan kaum miskin, yatim, serta dhu’afa (kaum lemah) dan mustadh’afin (kaum tertindas, teraniaya).
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Nashir, M.Si dalam pidatonya pada Milad 106 Tahun Muhammadiyah di Puro Mangkunegaran Surakarta, 18 November 2018 lalu.
“Sebaliknya termasuk dusta dalam beragama manakala dirinya tidak mau menolong kaum yang lemah dan dilemahkan. Apalah artinya beragama manakala tidak peduli dan tidak mau berbagi untuk mereka yang bernasib malang dalam kehidupannya. Ajaran Al-Ma’un dalam Muhammadiyah telah menjadi gerakan praksis sosial Islam yang bersifat membebaskan (emansipasi, liberasi), memberdayakan (empowerment), dan memajukan kehidupan umat dan bangsa,” ungkap Haedar.
Lebih lanjut, Haedar Nasir mengatakan, Gerakan Al-Ma’un bahkan secara kelembagaan melahirkan rumah sakit, klinik, pelayanan sosial, tanggap kebencanaan, pemberdayaan masyarakat, dan praksis Lazismu untuk seluruh anak negeri. Gerakan Al-Ma’un saat ini pun melahirkan aksi kemanusiaan (humanitarian) untuk semua golongan umat manusia baik di dalam maupun di luar negeri dalam gerakan “Muhammadiyah For All” atau “Muhammadiyah Untuk Semua”.
“Suatu ajaran “ta’awun” yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Islam sejatinya mengandung elemen ajaran yang membebaskan dalam makna mengeluarkan umat manusia dari keadaan buruk ke keadaan yang lebih baik. Inilah praksis sosial Islam yang oleh Asghar Ali Engineer disebut sebagai teologi pembebebasan dalam Islam (The Islamic Theology of Liberation).”
Menurut Aghar, ajaran Islam sejati menjunjukkan komitmen tinggi pada terciptanya tananan sosial yang adil, egaliter, dan nireksploitasi. Dinyatakan, tidak dapat disebut masyarakat muslim (Islamic society) manakala di dalamnya masih terdapat eksploitasi satu terhadap lainnya. Karenanya Islam hadir dengan pandangan dan praktik sosial yang membebaskan kehidupan.
Bahkan kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” menurut pemikir Islam posmodern ini dapat menjadi kekuatan pembebas bagi kaum lemah sekaligus membongkar sistem apapun yang otoritatian! Konteks Kebangsaan Pesan “Ta’awun Untuk Negeri” kami gelorakan ke seluruh persada tanah air setidaknya sebagai respons dan komitmen Muhammadiyah atas dua situasi yang dihadapi bangsa saat ini.
Pertama, adanya musibah gempa bumi di Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, serta di Palu-Donggala-Sigi di Sulawesi Tengah, di samping musibah lainnya di negeri ini. Pesan utamanya agar semua tergerak untuk peduli dan berbagi meringankan beban saudara sebangsa atas musibah yang terjadi, seraya bergerak bersama agar saudara-saudara kita di dua wilayah musibah itu bangkit dan kembali menjalani kehidupan dengan baik dan lebih maju.
Kedua, sutuasi nasional di tahun politik yang sedikit atau banyak menunjukkan ananiyah-hizbiyah (egoisme kelompok) dan gesekan sosial-politik satu sama lain. Kontestasi politik memang wajar dengan dinamika persaingan dan perebutan kepentingan.
“Namun manakala tidak terkelola dengan baik dan dibiarkan serbabebas maka dapat memicu konflik dan retak sosial antarsesama anak bangsa secara saling berhadapan dan bermusuhan. Karenanya penting dilandasi nilai “ta’awun” untuk
“saling peduli dan berbagi” layaknya satu tubuh di keluarga bangsa,” ungkapnya.
Haedar berpesan, perbedaan politik tetap diikat oleh rasa bersaudara dan tidak menyuburkan suasana permusuhan yang merugikan kehidupan berbangsa. Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri” dapat diaktualisasikan dalam gerakan membangun kebersamaan dengan jiwa tulus semata-mata untuk memajukan kehidupan bangsa.
Umat Islam menyebut semangat kebersamaan itu dengan ukhuwah, sedang dalam idiom umum dikenal gotongroyong untuk kebaikan hidup bersama. Semangat ukhuwah dan gotong-royong itu niscaya terus disebarluaskan agar menjadi praktik hidup yang nyata dan bukan retorika.
“Ukurannya ialah ketika terdapat perbedaan pandangan dan kepentingan, satu sama lain mau saling berkorban dan berbagi, bukan saling mengutamakan kepentingan dan mau menang sendiri,” tandasnya.
Haedar menyerukan agar umat Islam mewujudkan ta’awun sesama warga dan komponen bangsa dengan sikap, tindakan, dan usaha bekerjasama secara nyata. Semua pihak mau saling peduli dan berbagi, serta saling hidup maju dan makmur bersama-sama. (des)