SOLO (Panjimas.com) – Muhammadiyah baru saja menyelenggarakan Milad ke-106 pada 18 November 2018 lalu, bertempat di Puro Mangkunegaran Surakarta. Kraton yang bersejarah di masa lalu menginspirasi Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan “Padvinders”, yakni Gerakan Kepanduan “Hizbul Wathan” tahun 1918.
Pendiri Muhammadiyah itu melalui Hizbul Wathan mendidik generasi muslim untuk cinta dan bela tanah air Indonesia. Dari organisasi kepanduan Islam tertua ini lahir seorang Soedirman muda yang menjadi pemimpin Perang Gerilya, Bapak Tentara Nasional Indonesia, dan Pahlawan Nasional.
Dalam momentum Milad tahun 2018 ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara khusus menganugerahkan Muhammadiyah Award kepada DR (HC) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai wujud penghargaan tertinggi atas dedikasinya dalam bidang Perdamaian Dan Kemanusiaan.
“Dr (HC) Drs H Muhammad Jusuf Kalla telah menggoreskan sejumlah kepeloporan dan kiprah nyata dalam merekat integrasi nasional untuk tegaknya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dilakukan di Aceh, Poso, dan Ambon yang sangat berarti bagi keutuhan dan persatuan Indonesia,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Nashir, M.Si dalam pidatonya.
Tokoh nasional yang dua periode menjadi Wakil Prsiden Republik Indonesia tersebut juga dikenal sebagai saudagar muslim yang tangguh dan banyak berjasa bagi kepentingan merekat ukhuwah dan kemajuan umat Islam.
Milad Muhammadiyah ke-106 tahun 2018 ini mengangkat tema “Ta’awun Untuk Negeri”. Melalui tema tersebut Muhammadiyah membawa pesan utama kepada seluruh komponen bangsa termasuk pemerintah dan kekuatan politik nasional agar secara kolektif-kolegial mengerahkan segala daya dalam menggelorakan semangat, pemikiran, dan tindakan-tindakan nyata untuk “Saling menolong dan bekerjasama” demi kebaikan, kemaslahatan, serta kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Haedar mengungkapkan, menggelorakan “Ta’awun Untuk Negeri” berarti menyuarakan pesan keruhanian Islam dalam mengembangkan sikap saling tolong-menolong atau bekerjasama untuk terwujudnya kebaikan serta kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia. Sebaliknya mencegah segala bentuk “kerjasama” (konspirasi) dalam hal dosa dan keburukan sebagaimana pesan Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Ma’idah ayat kedua:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Mâidah/5:2).
Ajaran Ta’awun Islam menjunjung tinggi nilai “ta’awun”, yakni tolong menolong antar sesama manusia —termasuk di dalamnya kerjasama, toleransi, kebersamaan, serta segala kebajikan— yang membawa pada kemaslahatan hidup bersama.
Sebaliknya Islam mengajarkan umatnya agar menjauhkan diri dari “kerjasama” (persekongkolan) yang membawa pada keburukan dan kemudharatan dalam kehidupan bersama. Ajaran “ta’awun” secara khusus termaktub dalam Surat Al-Maidah ayat ke-2 sebagai berikut:
“…Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah: 2).
Haedar menjelaskan, surat Al-Maidah ayat kedua yang di dalamnya temaktub ajaran “ta’awun”, dalam sejumlah tafsir turun terkait dengan situasi ketegangan antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy di sekitar rentang waktu dan peristiwa perjanjian Hudaibiyah.
Menurut Ibnu Katsir, bersumber dari penuturan Said bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW bersama para sahabat berada di Hudaibiyah ketika orangorang musyrik Makkah menghalanginya menuju Baitullah di mana hal itu dirasakan kaum muslimin berat sekali. Suatu ketika sekelompok orang musyrik dari wilayah timur hendak pergi umrah ke Baitullah sesuai kepercayaan mereka kala itu, sebagian sahabat berniat menghalangi mereka sebagai bentuk pembalasan.
Dalam konteks itulah Allah menurunkan ayat ke-2 pada Surat Al-Maidah tersebut. Sebagaimana kupasan tafsir pada umumnya, terdapat versi lain seputar sabab nuzul ayat tersebut. Ibnu Katsir mengaitkan ayat ini dengan hadis Nabi yang bunyinya “unshur akhaka dhaliman aw madhluman”, artinya “Tolonglah sadaramu yang menganiaya dan yang dianiaya” [HR Imam Ahmad (11538) dari Anas bin Malik].
Menolong Ala Nabi Saw
Ketika Nabi ditanya kenapa harus menolong orang yang menganiaya? Rasul menjawab, yang artinya “Engkau larang dia agar tidak berbuat aniaya, begitulah cara kamu menolongnya”.
Betapa tegas tapi moderat cara Rasulullah mengajarkan misi dakwah, bahwa dalam menghadapi pihak musuh sekalipun senantiasa dimiliki jiwa dan sikap dasar kebajikan. Dalam bernahi-munkar pun harus ditunaikan dengan cara yang ma’ruf atau baik, bahwa keburukan jangan dibalas dengan keburukan yang serupa.
Dalam kisah lain menurut Imam Ahmad dari Al A’masyi, dari Yahya bin Watsab, dari salah seorang sahabat Nabi, dia berkata yang artinya: “Orang-orang mukmin yang berbaur dengan manusia dan bersabar terhadap cercaan mereka itu lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak berbaur dan tidak sabar terhadap cercaan mereka”.
Senada dengan itu menurut riwayat Al-Hafidz Abu Bakar Al-Bazzar dari Abdullah, bahwa Nabi bersabda yang artinya, “Orang yang menunjukkan pada kebaikan sama seperti orang yang melakukannya”. Siapapun muslim harus menyebarluaskan kebaikan serta memperluas horizon interaksi dan kerjasama secara terbuka melintasi batas-batas primordialisme. Betapa inklusif ajaran ta’awun dari Rasulullah bagi umat Islam.
Pada frasa sebelumnya, ajaran “ta’awun” berurutan dengan kalimat “wa laa yajrimannakum syanaanu qaumin an shodduukum ‘anil masjidil haraam an ta’taduu” (“Jangan sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat aniaya atau melampaui batas (kepada mereka)” (QS Al-Maidah: 2).
Frasa ini mengajarkan sikap adil meskipun kepada pihak musuh atau yang memusuhi umat Islam, suatu ajaran yang sangat luhur sebagai landasan ruhani dan moral dalam berhabluminannas dengan sesama.
Spirit ta’awun dalam Islam paralel dengan ajaran ihsan, yang mengandung makna bahwa karena dekatnya seorang muslim dengan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim maka dirinya menjadi sosok yang shaleh dan welas asih secara melintasi untuk berbuat segala kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu.
“Termasuk kepada yang berbeda agama dan golongan, bahkan terhadap kaum kafir dan pihak yang memusuhi. Sebaliknya menjauhi atau tidak boleh berbuat dan bekerjasama dalam hal segala keburukan dengan dalih apapun kepada siapapun.”
Semua disertai keseimbangan atau sikap tengahan (wasathiyah), manakala dengan pihak yang berbeda agama dan golongan mampu bekerjasama secara baik, tentu dengan sesama seiman dan seagama dapat berhubungan dan bekerjasama dengan sebaik-baiknya. (des)