LONDON, (Panjimas.com) — Dalam artikel yang diterbitkan Anadolu Agency, Maung Zarni menegaskan bahwa kebijakan pemulangan paksa para pengungsi Rohingya merupakan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaam.
Seluruh masyarakat dunia, mulai dari Palang Merah Internasional hingga Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi menjerit-jerit untuk memberikan perlindungan kepada para pengungsi akibat skema repatriasi bilateral Bangladesh-Myanmar yang mulai berlaku pada 15 November lalu.
Pejabat Komite Internasional Palang Merah di Myanmar, Robert Mardini mengatakan kepada para wartawan, “kami masih percaya bahwa kondisi sekarang tidak tepat untuk pengembalian pengungsi secara sukarela, aman, dan bermartabat… Tak ada yang menjamin hari ini di Rakhine sudah aman sehingga mereka dapat kembali dengan selamat.”
Rabu (14/11) malam, 150 pengungsi Rohingya dengan rasa takut dipindahkan oleh otoritas Bangladesh ke kamp transit di perbatasan Bangladesh, dan mereka nampak seperti tak menginginkan itu.
Rencana awal mereka adalah pengembalian 2.200 orang Rohingya yang selamat dari genosida di Myanmar, kemudian diikuti dengan pemulangan 2.000 orang lainnya. Jika kedua negara itu melakukannya dengan repatriasi – di bawah tekanan dari China (dan India) – maka langkah itu akan menjadi sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum internasional.
Koordinator Hukum internasional untuk Koalisi Pembebasan Doreen Chen mengatakan dengan keras, “Kami mengetahui tentang kondisi yang akan dihadapi pengungsi Rohingya saat mereka kembali ke Myanmar. Banyak orang Rohingya yang menolak untuk kembali, tidak tepat untuk memulangkan mereka sekarang!”
Chen menambahkan, “Itu memang jauh melampaui batas: tindakan repatriasi itu sendiri tidak hanya melanggar prinsip hukum internasional non-refoulement, namun bisa menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan karena melakukan pemindahan secara paksa.”
Jadi, situasi yang sangat mengkhawatirkan muncul ketika Myanmar dan Bangladesh menandatangani Konvensi 1948 tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida atau Konvensi Genosida – seolah memamerkan kesediaan keduanya untuk menerapkan hukum internasional, di mana Myanmar melakukan kejahatan, sedang tetangganya Bangladesh berencana memindahkan mereka secara paksa kembali ke kondisi semula yang berbahaya itu.
Pada 24 Oktober lalu, Ketua Misi Pencarian Fakta PBB yang juga merupakan mantan Jaksa Agung Indonesia Marzuki Darusman dengan tegas mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa kini tengah “berlangsung” genosida di Myanmar.
Bahkan peristiwa genosida di tanah mereka masih mendorong orang Rohingya yang tersisa di sana untuk lari dari kekerasan. Masih banyak kapal Rohingya yang berusaha melarikan diri dari situasi seperti neraka di tanah air mereka di Rakhine Utara baru-baru ini, mereka ditangkap dan ditahan oleh Angkatan Laut Bangladesh dan Myanmar.
Terdapat 120.000 orang Rohingya di “kamp konsentrasi” sebuah istilah yang digunakan oleh pejabat Dinas Luar Negeri Jerman dalam pertemuan khusus dengan warga Rohingya, di mana mereka dikurung sejak kekerasan meletus pada tahun 2012, dan ditambah 400.000 orang yang tinggal di “penjara terbuka” di kota-kota seperti Buthidaung dan setengah dari desa-desa Rohingya yang tidak terbakar.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengusulkan pembentukan ‘zona aman’ di tanah air orang Rohingya di Myanmar kepada Majelis Umum PBB selama dua tahun berturut-turut, 2017 dan 2018.
Oleh karena itu, hal tersebut membingungkan dan memperingatkan bahwa Dhaka terlihat mendorong repatriasi bilateral -bertentangan dengan harapan besar mayoritas 1,2 juta Rohingya di kamp Cox’s Bazar. Dapat dipahami jumlah pengungsi Rohingya membawa beban yang besar pada Bangladesh. Disamping itu, komunitas internasional –negara-negara kaya khususnya—tidak memenuhi janji mereka untuk mengurangi beban ini dalam bentuk bantuan dollar atau euro.
Bangladesh mengalami tekanan dari negara super power di Asia seperti contohnya adalah China dan India untuk memulai repatriasi dan mengatasi dampak dari menerima 1 juta pengungsi yang melarikan diri dari genosida yang berasal dari negara tetangga.
Untuk membuat persoalan ini semakin buruk, Penasihat Negara dan Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San Suu Kyi telah berada dalam posisi yang seutuhnya menolak kenyataan yang berada di lapangan –bahwa militer telah melakukan kejahatan genosida, sebuah fakta yang dia tolak. Dia menentang setiap penelitian dan laporan hak asasi manusia yang menemukan kejahatan melawan kemanusiaan Myanmar, genosida dan kejahatan perang, dari laporan Misi Pencari Fakta PBB 444 18 September hingga laporan atas genosida Myanmar Universitas Yale dan Universitas Queen Mary London.
Jadi, ketika Wakil Presiden Mike Pence menyampaikan kepadanya secara langsung dalam pertemuan mereka di Singapura bahwa persekusi Myanmar kepada Rohingya “tidak dapat dibenarkan” dia menolak Mike Pence secara terbuka, ketimbang mengakui kenyataan bodoh pemerintahannya.
Dalam kalimatnya, “di satu sisi, kita dapat mengatakan bahwa kita memahami negara kita lebih baik daripada negara manapun dan saya yakin anda akan mengatakan hal yang sama, bahwa anda memahami negara anda lebih baik daripada negara manapun.”
Sebagai sebuah kenyataan, ini adalah Kementerian Luar Negeri pimpinan Aung San Suu Kyi yang berhubungan dengan propaganda anti-Rohingya, menyebarkan pernyataan resmi dan membuat pernyataan media, yang membingkai serangan brutal militer terhadap Rohingya yang tidak bersenjata sebagai pembelaan diri yang sah terhadap “teroris”.
Pemerintahannnya juga mempromosikan film propaganda anti-Rohingya oleh seorang Islamophobia Amerika Rick Heinzman.
Heinzman dilarang di Twitter dan Facebook karena promosi kebenciannya tetapi didukung oleh pemerintah Suu Kyi dengan akses bebas ke lapangan pembunuhan Rakhine untuk melakukan perekaman video anti-Rohingya. Dia terus mencegah beberapa anggota Misi Pencari Fakta PBB dan Rapporteur Spesial mengenai hak asasi manusia di Myanmar Yanghee Lee.
Dengan latar belakang ini, keselamatan Rohingya di Myanmar tidak dapat dipercayakan kepada para pelaku yang sedang berkuasa tanpa intervensi internasional yang nyata. Menciptakan sebuah koalisi negara-negara PBB –seperti Malaysia, Turki, Kanada, Belanda, Swedia, A.S. dan Inggris, dan seterusnya—yang telah menyatakan keprihatinan yang akut terkait penderitaan Rohingya. Ini akan menjadi langkah penting untuk menjamin keamanan untuk memfasilitasi kembalinya Rohingya ke tanah air mereka dan akhirnya mengakhiri genosida yang sedang berlangsung di Myanmar.[IZ]