DHAKA, (Panjimas.com) — Tidak ada pengungsi Rohingya yang setuju untuk kembali ke Myanmar, meskipun Bangladesh dan Myanmar berusaha untuk memulai repatriasi, demikian menurut seorang pejabat Komisi Repatriasi Bantuan Pengungsi Bangladesh, Kamis (15/11).
“UNHCR mengatakan tidak ada seorang pun anggota keluarga Rohingya yang setuju untuk kembali. Sehingga repatriasi tampaknya tidak akan terjadi,” seorang pejabat Komisi Repatriasi Bantuan Pengungsi Bangladesh (RRRC) yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan hal tersebut kepada Benar News, Rabu (14/11).
Sekitar 150 pengungsi dari 30 keluarga yang seharusnya menjadi kelompok pertama yang dipulangkan menolak untuk kembali, kata pejabat itu, mengutip tanggapan dari kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Sebelumnya UNHCR telah meminta Bangladesh untuk membatalkan repatriasi lebih dari 2.200 pengungsi Rohingya ke Myanmar, mengatakan kelompok Muslim yang ditindas di Myanmar tersebut takut untuk kembali, sementara pejabat Bangladesh berencana merepatriasi mereka dalam minggu ini.
Di bawah kesepakatan antara kedua negara, Bangladesh akan menyerahkan gelombang pertama dari 2.260 yang rencananya akan dikembalikan ke Myanmar di titik transit di sepanjang perbatasan bersama kedua negara.
Seorang pejabat Bangladesh mengatakan kepada BeritaBenar pada awal minggu bahwa Bangladesh hanya akan memulangkan warga Rohingya dengan dukungan oleh badan pengungsi PBB tersebut atas dasar yang bersangkutan bersedia kembali secara sukarela.
Sekitar 720.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari negara Rakhine Myanmar ke Bangladesh menyusul tindakan keras militer yang dimulai pada bulan Agustus 2017. Tim investigasi PBB atas Myanmar menuduh militer Myanmar telah melakukan pembersihan etnis.
Keenganan pengungsi Rohingya disampaikan juga oleh Kyaw Win, direktur organisasi Burma Human Rights yang telah mewawancara pengungsi Rohingya.
“Mereka lebih baik bunuh diri daripada kembali ke Myanmar. Mereka mengalami trauma berat, mereka butuh waktu untuk normal dan selama tentara masih berkuasa maka tidak ada jaminan keamanan buat mereka,” ujarnya kepada Benar News di Jakarta.
Dia mencatat, lebih dari 80.000 anak suku Rohingya kehilangan orangtua dalam dua tahun terakhir.
Rencana repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar juga mendapat tentangan di tanah air.
“Kalau terjadi pemulangan dan terjadi pelanggaran HAM, Myanmar akan semakin kebal hukum,” kata Dina Wisnu, perwakilan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR).
Sementara seorang anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, juga menyuarakan penolakannya,
“Rencana repatriasi sangat memprihatinkan, tidak dipersiapkan dengan jaminan HAM bagi mereka yang terusir itu, tidak ada suatu perubahan yang memberikan ketentraman bagi masyarakat Rohingya untuk kembali,” ujarnya.
‘Jika lima orang setuju, kami akan merepatriasi’
Namun, para pejabat Myanmar dan Bangladesh tetap berusaha keras untuk mewujudkan rencana repatriasi itu.
Myint Thu, Sekretaris Permanen Kementerian Luar Negeri Myanmar, mengatakan para pejabat Myanmar bertemu dengan UNHCR di ibukota Naypyidaw untuk menemukan cara-cara repatriasi.
Pejabat Myanmar telah berjanji kepada mereka yang kembali bahwa mereka akan mendapatkan Kartu Verifikasi Nasional yang memungkinkan mereka untuk melakukan perjalanan di daerah Maungdaw negara bagian Rakhine, sebagai bagian dari proses pengajuan permohonan kewarganegaraan.
Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menganggap Rohingya sebagai warga “Bengali” yang masuk secara ilegal dari Bangladesh, meskipun mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Sebagian besar dari mereka telah ditolak kewarganegaraan dan dilarang bepergian ke luar negara bagian Rakhine.
Mohammed Juha, seorang pemimpin pengungsi dari kamp pengungsi Balukhali di Bangladesh, mengatakan dia tidak ingin kembali karena pihak berwenang Myanmar terus melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya.
“Kami adalah Rohingya dan kami akan kembali hanya jika kami diakui sebagai warga negara,” pungkasnya kepada Radio Free Asia, yang merupakan afiliasi dari Benar News.
Pejabat Bangladesh, yang berbicara kepada Benar News dengan syarat tidak disebutkan namanya, mengatakan Bangladesh dan Myanmar menginginkan sejumlah warga Rohingya untuk kembali secepat mungkin sehingga yang lain akan mengikutinya.
“Jika kami dapat mengirim satu atau dua batch dari mereka, yang lain akan terdorong untuk kembali,” kata pejabat itu.
Delwar Hossain, direktur masalah Asia Tenggara di Kementerian Luar Negeri Bangladesh, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa Myanmar dapat menampung hingga 150 pengungsi setiap hari jika rencana repatriasi dilaksanakan.
“Tapi kita bisa memulai repatriasi dengan jumlah kurang dari itu. Jika lima orang setuju, kami akan mengirim mereka. Jika 10 orang setuju, kami akan mengirim 10 orang,” kata Hossain.
Indonesia Dituntut Berperan Aktif
Sehubungan dengan peran Indonesia dalam pembelaan atas Muslim Rohingya, Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (TPF PBB) untuk Myanmar, Marzuki Darusman, mengatakan dukungan Indonesia dari segi politik dan hak asasi manusia (HAM) masih minim.
“Perjuangan untuk Rohingya lebih banyak pada pemberian bantuan atau diplomasi kemanusiaan,“ katanya dalam dialog panel tentang pelanggaran HAM berat di Myanmar atas etnis Rohingya di Jakarta, Selasa, 14 November 2018.
“Indonesia seharusnya memberi keberanian untuk lebih gagah perkasa dan berinisiatif menyelesaikan masalah Rohingya,” tambah mantan Jaksa Agung Indonesia periode 1999-2001 itu.
Ia menilai, persekusi terhadap warga suku minoritas Muslim Rohingya dilakukan secara sistematis oleh aparat keamanan Myanmar.
“Masyarakat Rohingya dilarang pergi dalam radius tertentu, banyak masyarakat Rohingya merasa tinggal menunggu waktu saja akan punah karena penindasan sangat terstruktur dan dilakukan pemerintah,” ujarnya.
TPF PBB menemukan sedikitnya ada tiga jenis pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan Mynamar yaitu pidana perang, pidana kemanusiaan dan genosida.
“Langkah lanjutan adalah proses hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas peristiwa ini, ditemukan enam orang jenderal dan panglima tertinggi Tatmadaw (sebutan militer Myanmar) terlibat,” papar Marzuki.
Marzuki mengatakan, tim TPF PBB tidak pernah diakui di Myanmar karena Myanmar sudah memiliki tim investigasi pemerintah.
Namun, ujarnya, enam tim investigasi yang dibentuk Myanmar belum pernah menghasilkan kesimpulan apapun.
“Bahkan tim PBB tidak boleh masuk ke Rakhine karena tidak diberikan visa, jadi bagaimana mencari fakta kalau tidak bisa masuk,” tandasnya.[IZ]