JAKARTA, (Panjimas.com) — Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) berpandangan bahwa negara-negara di ASEAN tidak mampu bertindak tegas terhadap Pemerintah Myanmar. Padahal, Tim Pencari Fakta (TPF) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Krisis Rohingya memiliki banyak bukti kejahatan kemanusiaan dan genosida yang dilakukan Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya.
“Memang tidak tegas karena ASEAN punya prinsip non intervention, nggak boleh intervensi urusan negara lain,” ujar Ketua Tim Kajian Hukum dan HAM dari KNSR, Heru Susetyo saat dialog panel ungkap fakta pelanggaran HAM berat Pemerintah Myanmar atas etnis Rohingya di Wisma Antara, Rabu (12/11) lalu.
Heru Susetyo mengatakan, apa yang terjadi di Myanmar dianggap sebagai urusan domestik yang tidak perlu diintervensi negara lain karena ASEAN punya prinsip non intervention. Prinsip non intervention tersebut lahir pada tahun 1967.
Menurutnya, setiap negara punya dosa masing-masing, mungkin setiap negara saling menjaga rahasia dosanya untuk menutupinya. Sehingga terjadi sikap saling sandera di antara negara, hal ini berkaitan dengan prinsip non intervention terkait kasus kejahatan kemanusiaan di Myanmar.
Heru Susetyo menyampaikan, PBB sudah tegas tapi ada yang menghalanginya yaitu Cina. Cina benar-benar menolak kebijakan yang merugikan Myanmar. Selain Cina, Filipina dan Burundi juga menolak resolusi PBB terkait Rohingya.
“Cina punya kepentingan sosial, politik dan bisnis, banyak investasi Cina di Myanmar, akan sangat berdampak bagi ekonomi Cina kalau bisnisnya diganggu di Myanmar,” ujar Her, dikutip dari ROL.
Menurut Heru, ada dua kelompok di PBB. Pertama, kelompok yang mendukung Resolusi PBB terkait Rohingya. Kedua, kelompok yang menolak resolusi PBB yakni Cina, Filipina dan Burundi.
“Mungkin Filipina punya kepentingan sosial, politik dan ekonomi juga di Myanmar. Kalau Burundi tidak tahu alasannya menolak resolusi PBB. Filipina sungguh mengecewakan karena sesama negara di Asean tidak mendukung terciptanya perdamaian,” tandasnya.[IZ]