WASHINGTON, (Panjimas.com) — Para anggota parlemen Amerika Serikat (AS) mengatakan pihaknya akan mengeluarkan undang-undang baru untuk menjatuhkan sanksi terhadap Cina atas tindakan brutalnya terhadap etnis Muslim Uighur, Rabu (14/11).
Berdasarkan salinan undang-undang yang dimiliki Reuters diketahui bahwa Presiden Donald Trump diminta untuk mengutuk keras tindakan Cina di wilayah Xinjiang, dan membentuk “koordinator khusus” tentang permasalahan ini.
Undang-undang juga mendesak pertimbangan larangan ekspor teknologi AS yang dapat digunakan Beijing dalam pengawasan dan penahanan massal etnis Muslim Uighur.
Para anggota parlemen menginginkan pemerintahan Trump mempertimbangkan sanksi terhadap Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo. Sanksi juga diberikan kepada pejabat lainnya yang dituduh bertanggung jawab atas tindakan keras keamanan.
“Pejabat pemerintah Cina harus bertanggung jawab atas keterlibatan mereka dalam kejahatan ini dan AS harus dilarang membantu Cina dalam menciptakan wilayah berteknologi tinggi di Xinjiang,” jelas Wakil Partai Republik, Chris Smith. Undang-undang akan dipresentasikan di Senat dan House of Representatives.
Gedung Putih dan Kedutaan Besar Cina di Washington tidak segera menanggapi permintaan untuk mengomentari undang-undang ini. Peraturan hukum ini juga diajukan oleh Senator Republik Marco Rubio dan Senator Demokrat Bob Menendez
Rubio mengatakan dalam pernyataannya, bahwa sejumlah pejabat Cina bertanggung jawab atas kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beijing telah menepis tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan mendesak AS dan negara-negara lain untuk tidak ikut campur dalam urusan internalnya.
Menteri Luar Negeri Cina pada Selasa mengatakan, dunia harus mengabaikan “gosip” tentang pemberitaan di Xinjiang. Menurutnya dunia internasional harus mempercayai pihak berwenang.
Negara-negara Barat termasuk Kanada, Prancis, Jerman, dan AS telah mendesak Cina untuk menutup kamp-kamp di Xinjiang. Aktivis Ham mengatakan sebanyak 1 juta anggota minoritas Uighur dan Muslim lainnya ditahan di kamp tersebut.
Pejabat AS mengatakan pemerintahan Trump selama beberapa bulan telah mempertimbangkan sanksi terhadap pejabat senior Cina dan perusahaan terkait dengan tindakan keras itu.
Langkah-langkah ini dapat diberlakukan berdasarkan Global Magnitsky Act, undang-undang federal yang memungkinkan pemerintah AS untuk menargetkan pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia dengan membekukan aset AS, larangan perjalanan AS, dan larangan warga Amerika melakukan bisnis dengan mereka.
Sebelumnya, dalam debat yang berlangsung di Jenewa yang membahas mengenai pelanggaran HAM setiap negara anggota PBB setiap lima tahun dan membicarakan masalah Cina pada Selasa (6/11) pekan lalu. Beijing mengatakan negara itu melindungi kebebasan 55 kelompok etnis minoritas di sana.
Selama perdebatan tersebut, “AS mendesak Cina untuk ‘menghapus penahanan tidak berdasar, termasuk kamp penahanan di Xinjiang, dan segera membebaskan ratusan ribu, dan mungkin jutaan orang yang ditahan di sana.” kata ujar pwrwakilan AS Mark Cassayre, dilansir dari ABC Australia.
Wakil Australia dalam debat itu juga menyerukan kepada Cina untuk mengakhiri penahanan tanpa dasar hukum yang jelas di Xinjang, memberikan kebebasan bergerak bagi warga Uighur dan Tibet, dan memberikan akses bagi media dan pejabat ke Xinjiang dan Tibet.
Baik Amerika Serikat dan Australia mendesak Cina untuk membebaskan para aktivis HAM yang dipenjarakan, dengan Cassayre khusus menyebut nama-nama pegiat seperti Wang Quanzhang, Ilham Tohti and Huang Qi.
Ribuan warga Tibet dan Muslim Uighur dari seluruh Eropa menggelar aksi protes di luar kantor PBB di Jenewa (Swiss) selama debat HAM tersebut. Mereka membawa plakat bertuliskan “STOP China Ethnic Cleansing of Uighurs” (Hentikan Pembasmian Etnis Cina terhadap warga Uighur) dan “Tibet dying, China lies” (Tibet sekarat, Cina berbohong).
AI Tuntut Cina Hentikan Represi Sistematis
Amnesty International (AI) menegaskan bahwa Cina harus menghentikan represi yang sistematis dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juga orang mayoritas Muslim yang ditahan secara sewenang-wenang di daerah otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Pemerintah setempat dalam setahun terakhir meningkatkan kampanye penahanan massal, pengawasan intrusif, indoktrinasi politik, asimilasi paksa terhadap etnis Uighur dan Kazakhs serta kelompok etnis lainnya.
Mayoritas keluarga korban tidak mendapatkan informasi mengenai nasib orang-orang yang mereka cintai. Mereka juga ketakutan untuk berbicara mengenai penahanan tersebut.
“Pemerintah Cina tidak boleh diijinkan untuk terus melakukan kampanye kejam ini terhadap etnis minoritas di barat laut Cina. Pemerintah di seluruh dunia harus meminta pertanggung jawaban Cina atas kekejaman yang terungkap di XUAR,” kata Direktur Amnesty International Asia Timur Nicholas Bequelin dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/09).
Menurut Bequelin, keluarga etnis muslim tersebut telah cukup menderita. Ratusan ribu keluarga telah tercerai berai oleh kampanye masif ini. Mereka putus asa mencari informasi mengenai apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai.
“Sekarang waktunya otoritas Cina memberikan mereka jawaban,” pungkasnya.
Dalam laporan terbaru Amnesty International, “China Where are they? Time for answers about mass detentions in Xinjiang Uighur Autonomous Region“, Amnesty International memaparkan mengenai penderitaan orang-orang yang telah kehilangan kontak dengan keluarga ataupun teman mereka yang yang ditahan di XUAR.
Amnesty International mewawancarai lebih dari 100 orang di luar Cina yang telah kehilangan anggota keluarga mereka di XUAR dan orang-orang yang disiksa di kamp-kamp penahanan disana.[IZ]