JAKARTA, (Panjimas.com) – Kita semua tahu dengan apa yang namanya Ghazwul Fikr. Perang Pemikiran. Perang ideologi. Perang intelektualitas. Di masa modern serba instan, perang ideologi begitu masif didengungkan lewat sosial media, buku, sampai film. Siapakah yang ditarget oleh perang pemikiran? Merekalah para generasi muda Islam yang suka nongkrong di kafe, di bioskop, di tempat-tempat yang menawarkan hiburan, jauh dari masjid, majlis ta’lim atau forum kajian dakwah.
Menurut muslimah aktivitis da’wah, Neno Warisman bahwa di bidang inilah kita sering ketinggalan jauh, dan anak-anak kita bagaikan berjalan di dalam rimba hutan belantara. Padahal mereka adalah anak muda yang bisa berjam-jam menghabiskan kuota untuk dicuci otaknya oleh para penyedia konten liberal, sekuler, komunis, dan pegiat LGBT.
“Sayangnya, dakwah di bidang perfilman memang tak bisa semudah yang dibayangkan, mengingat pemain di industri perfilman masih didominasi kelompok sekuler liberal yang hanya punya prinsip: follow the money,” tutur Neno.
Masih menurut Aktivis Relawan Ganti Presiden (RGP) itu, untungnya kita punya duo sineas muda, couple writer yang mengingatkan kita lagi pentingnya memenangkan Ghazwul Fikr di layar bioskop. Mereka adalah Hanum Rais dan suaminya, Rangga yang karyanya dalam dunia dakwah media modern sudah tidak diragukan lagi (99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika). Dan baru saja mereka merilis film terbaru berjudul Hanum Rangga yang merupakan adaptasi dari novel Faith and The City.
“Saya berkesempatan menyaksikan filmnya tadi malam dan merasa tersentil karena mungkin kita terlalu terlena menggelar dakwah di forum forum ta’lim, lingkaran masjid dan lupa untuk merangkul generasi muda melalui media modern,” katanya.
Di akhir 2018 ini, film keluarga Hanum & Rangga menjadi taruhan. Apakah kita masih peduli untuk memenangkan Ghawzul Fikr melalui layar bioskop. Karena pada Kamis, 8 November film Hanum Rangga akan tayang serentak bersamaan dengan film lain berjudul A Man Called Ahok yang dibuat untuk mengangkat kembali pamor Ahok yang sudah terpuruk di dunia politik.
“Dan sepertinya ada upaya juga untuk “meluruskan sejarah” bahwa negeri ini telah zalim telah memenjarakan Ahok. Caranya? Dengan memberikan ribuan tiket gratis nonton film Ahok pada grup-grup pengajian hingga PKK agar menonton film tersebut sehingga mereka dapat membangun mainset tentang Ahok,” tandas Neno.
Ahok akan digambarkan (framing) sosok sempurna. Tak memiliki cacat, meski kita tahu dalam real life ia memiliki “cacat keluarga” Dalam film Ahok, pembuat film menyembunyikan seluruh kekurangan Ahok. Termasuk pernikahannya yang berantakan demi mengejar ambisi kekuasaan atau perselingkuhannya, maupun perilaku (atitude).
“Nah film Hanum Rangga justru sebaliknya, mengisahkan tentang pentingnya menjaga keutuhan keluarga ditengah godaan impian dunia. Serta indahnya pacaran hanya dengan pasangan yang halal setelah menikah,” tegasnya.
Jika Ahok dikenal sebagai tokoh penista agama, sebaliknya film Hanum dan Rangga justru mengisahkan perjuangan pasangan anak muda yang membela agamanya. Saya tersentuh dengan karakter Hanum yang sangat gigih dalam memperjuangkan citra Islam di Kota New York yang sempat terpuruk pasca tragedi 9/11.
“Sudah saatnya kita juga bergerak ke bioskop, mulai 8 November nanti untuk meramaikan menonton film Hanum & Rangga bukan hanya untuk memenangkan Ghazwul Fikr di layar bioskop tapi juga membangkit ghirah Islam pada anak muda melalui media modern yang berkualitas,” pungkas Neno. [ES]