CIREBON, (Panjimas.com) – Industri halal berkembang pesat di dunia. Bisnis yang berbasis pada sistem ekonomi Islam ini bukan hanya dikembangkan oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, namun juga negara-negara yang sebagian penduduknya non-Muslim.
Pegiat Wisata Muslim, H. Priyadi Abadi, M.Par mengatakan, Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim semestinya harus lebih maju dibanding dengan negara lain, jangan sampai malah justru tertinggal. Bahkan, Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat wisata halal dunia.
“Kita lihat negara-negara Eropa, Jepang, Korea dan Thailand sudah mulai mengembangkan wisata halal, bahkan sudah menyiapkan pendukungnya seperti masjid, mushola, makanan halal dan lainnya,” kata Priyadi dalam seminar bertema ‘Peran Ekonomi Syariah Dalam Meningkatkan Perekonomian Negara’ di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, pada hari Senin, (5/11/2018).
Menurut Priyadi, Indonesia bisa lebih dari itu, dengan banyaknya masjid, tempat pariwisata, menu makanan nusantara yang enak-enak, tentu akan sangat mudah dikembangkan. Chairman Indonesian Islamic Travel Communication Forum ini juga menambahkan, saat ini ada sekitar sepuluh sektor halal lifestyle yang memberikan kontribusi besar dalam perekonomian dunia, yaitu makanan, keuangan, travel, kosmetik, pendidikan, fashion, media rekreasi, farmasi, kesehatan serta seni dan budaya.
Pendukung lain pengembangan halal lifestyle, menurut Priyadi adalah adanya perbankan syariah, asuransi syariah, dan lembaga keuangan syariah lainnya yang sekarang sudah banyak kita dapatkan di negeri ini. Dengan banyaknya pintu-pintu dibidang halal tersebut, tentu memiliki potensi bisnis yang besar.
Penulis buku Muslim Traveller Solutions ini berharap, selain dukungan dari pemerintah, para stakeholder, pengusaha dan masyarakat juga bisa mengambil peranan masing-masing untuk mengembangkan potensi yang besar ini. Berdasarkan studi Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, total jumlah wisatawan Muslim dunia mencapai 117 juta pada 2015.
Jumlah itu diperkirakan terus bertambah hingga mencapai 168 juta wisatawan pada 2020 dengan pengeluaran di atas 200 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2,6 triliun. Priyadi menambahkan, selama ini industri halal hanya diartikan sebagai industri makanan dan minuman. Padahal, halal juga ada di sistem keuangan dan gaya hidup.
”Yang sekarang sedang tumbuh pesat adalah gaya hidup halal. Pariwisata ada di dalamnya,” ujarnya.
Priyadi mengakui, selama ini pelaku usaha di bidang wisata Muslim lebih banyak bergerak pada layanan umrah dan haji. Padahal, potensi untuk membawa wisatawan Muslim global ke Indonesia juga besar. Namun, tambah Priyadi, ada sejumlah negara lain yang justru lebih siap menerima wisatawan Muslim. Negara-negara itu antara lain Taiwan, Italia, dan Jepang.
Sementara negara mayoritas Muslim dengan destinasi wisata halal yang populer di dunia menurut studi GMTI pada tahun 2018 adalah Malaysia, Indonesia, Uni Emirat Arab, Turki, Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Oman, Maroko, dan Kuwait. “Indonesia saat ini naik menjadi peringkat kedua setelah Malaysia,” katanya.
Priyadi menambahkan, sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia di tahun 2018, yakni sebesar US$ 20 miliar atau naik sekitar 20 persen dari tahun 2017 yang sekitar US$ 16,8 miliar.
“Dengan adanya pariwisata syariah yang akan menambah segmen pasar pariwisata Indonesia diharapkan nantinya pariwisata akan berkontribusi sebesar 15 persen terhadap PDB,” ujarnya.
Pariwisata syariah membutuhkan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan akan nilai-nilai syariah. Hal ini akan menambah motivisi belajar pekerja agar terserap dalam industri ini. [ES]