GAZA, (Panjimas.com) — Seorang dokter yang tampak lesu memasuki bangsal anak-anak di rumah sakit al-Nassar, kota Gaza. Lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Al Jazeera mencatat, saat itu Kamis (25/10), hampir waktu akhir pekan.
Bangsal tampak senyap dan sedikit mencekam, tetapi sesekali suara tangis anak terdengar. Di setiap bilik ruangan RS tersebut yang hanya dibatasi tirai, pemandangan nyaris sama: seorang bayi berbaring sendirian di tempat tidur, terhubung ke selang, kabel, dan generator. Sementara, seorang ibu hanya duduk terdiam di sampingnya.
Dokter Mohamad Abu Samia adalah direktur di bagian bangsal anak-anak. Ia pun berbicara dengan seorang ibu. Lalu, ia mengangkat kain penutup si bayi. Luka parut akibat bedah jantung terlihat melintang di hampir separuh tubuh si bayi.
“Kami sangat sibuk,” ujar dokter Samia. “Bayi-bayi menderita dehidrasi akibat muntah, diare, demam,” ujarnya.
Kasus diare memang meningkat pesat di Gaza. Penyakit diare adalah pembunuh nomor dua di dunia, khususnya untuk anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Krisis air di Gaza pun membuat anak mengalami penyakit yang serius. Menurut Mohammad Abu Samia, ada peningkatan tajam dalam gastroenteritis, penyakit ginjal, kanker pediatrik, marammus, gizi buruk, dan sindrom bayi biru, yaitu penyakit yang menyebabkan bibir, wajah, dan kulit membiru serta darah berwarna cokelat.
Sebelumnya, tutur Samia, dalam lima tahun hanya ada satu atau dua kasus sindrom bayi yang membiru. Kini sebaliknya, ada lima kasus dalam satu tahun. Ketika ia ditanya apakah pernyataannya didukung riset, ia mengatakan, “Kami tinggal di Gaza dalam kondisi darurat. Kami punya waktu hanya untuk meringankan penyakit, bukan untuk meneliti.”
Angka kematian anak dari catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Palestina mendukung temuan Samia. Data tersebut menunjukkan terdapat dua kali lipat penyakit diare, yang meningkat menjadi wabah.
Kasus yang juga meningkat pada musim panas lalu adalah infeksi salmonela dan demam tifoid. Jurnal-jurnal medis independen juga mencatat peningkatan angka kematian bayi dan tumbuh kembang yang terhenti. Hal itu dinilai sebagai bahaya besar di antara anak-anak Gaza.
Studi Rand Corporation menemukan bahwa air yang buruk merupakan penyebab utama kematian anak di Gaza. Sederhananya, anak-anak Gaza menghadapi wabah kematian anak pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Begitu banyak penderitaan,” ujar dokter Abu Samia.
Berbagai faktor kerap disalahkan atas krisis kesehatan yang mengikis anak-anak Gaza. Namun, para pakar medis sepakat, penyebab utama krisis kesehatan ini yakni blokade ekonomi oleh Israel, air minum yang langka, dan air yang terkontaminasi bahan-bahan racun akibat bom-bom yang diledakkan oleh Israel di Gaza.
Bom telah menghancurkan infrastuktur limbah dan akuifer. Sebanyak 97 persen sumur air minum Gaza berada di bawah standar kesehatan minimal untuk konsumsi manusia.
Direktur pengobatan pencegahan di Kemenkes Palestina, Dokter Majdi Dhair, melaporkan terjadi peningkatan besar pada penyakit yang disebabkan dari air.
“Ini sangat tekait dari air minum yang dikonsumsi dan adanya pencemaran dari air limbah yang tidak diolah, mengalir langsung ke Mediterania,” ujarnya.
Kunjungan ke barak pengungsi yang padat memberikan jawabannya. Di Shati, 87.000 pengungsi Shati — akibat terusir sejak Israel berdiri pada 1948 — hidup berjalan di lahan seluas setengah kilometer persegi. “Air dan Listrik? Lupakan saja,” ujar Atef Nimnim, seorang pengungsi.
Akuifer Gaza yang menyembur melalui keran mereka terlalu asin, hampir tidak ada orang di Gaza yang meminumnya lagi. Sebagian besar keluarga, bahkan di pengungsian, membelanjakan hingga setengah dari pendapatan mereka yang kecil untuk mendapatkan air yang tidak asin dari sumur-sumur Gaza. Namun, bahkan pengorbanan itu pun harus dibayar.
Otoritas Air Palestina menunjukkan hingga 70 persen air yang diangkut truk-truk swasta pun rentan terhadap kontaminasi kotoran. Dari situ, jumlah bakteri Escherichia coli yang jumlahnya mikroskopis sekali pun dapat berkembang yang menyebabkan krisis kesehatan.
Pakar air dan sanitasi Unicef untuk Gaza, Gregor von Medeazza, menjelaskan, semakin lama Escherichia Coli tetap berada di air, semakin banyak mereka tumbuh di dalam air memperburuk kualitas air. Hal itu menyebabkan air yang diminum membuat pengonsumsi diare kronis, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pertumbuhan yang terhenti pada anakanak Gaza, seperti yang didokumentasikan jurnal medis Inggris baru-baru ini.
Tingkat salinitas dan nitrat yang tinggi dari akuifer yang runtuh di Gaza sangat terpuruk sehingga air laut mengalir masuk. Peningkatan kadar nitrat menyebabkan hipertensi dan gagal ginjal, dan terkait dengan peningkatan sindrom bayi yang membiru. Ditambah dengan listrik yang dimatikan selama 20 jam setiap harinya, pabrik limbah Gaza menjadi tidak berguna.
“Kekurangan air dan listrik yang parah, bersama dengan meningkatnya kemiskinan, telah merusak tingkat gizi, itu memengaruhi bayi,” ujar Abu Samia.
Dokter Mohammad Abu Samia mengakui, sebelum serangan-serangan Israel yang menghancurkan alat vital negara, dia tidak pernah mengurus pasien yang menderita kekurangan gizi. Namun, sekarang dia kerap melihat anak-anak dengan penyakit gizi.
“Dua tahun ini semakin meningkat, kami melihat bayi dengan penyakit gizi yang parah,” tuturnya.
Kelompok-kelompok advokasi kemanusiaan memperingatkan bahwa tanpa intervensi dari komunitas internasional, Gaza tidak akan layak huni pada tahun 2020. Itu berarti hanya satu tahun dari sekarang.[IZ]