PALEMBANG, (Panjimas.com) — Indonesia dinilai seharusnya menyelesaikan isu independensi peradilan, demikian menuurt Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi.
“Sepatutnya Indonesia sudah menyelesaikan isu ini, karena kalau kita masih bicara independensi peradilan berarti negara ini masih tergolong negara demokrasi baru,” jelas Farid Wajdi dalam diskusi mengenai manajemen kekuasaan kehakiman di Universitas Muhammadiyah Palembang, Jumat (26/10).
Farid berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya termasuk negara demokrasi berkembang, sehingga arah peradilannya sudah harus memasuki akuntabilitas peradilan.
Farid kemudian mengaitkan kondisi peradilan di Indonesia dengan Rancangan Undang-undang Jabatan Hakim (RUU Jabatan Hakim) yang pada saat ini masih dalam proses di DPR RI.
“Jadi dalam RUU Jabatan Hakim, substansi isu yang dibangun adalah terkait independensi peradilan, padahal seharusnya kita sudah selesai dengan isu itu,” jelas Farid, dikutip dari Antara.
Dalam RUU Jabatan Hakim terdapat pembahasan mengenai sistem pembagian tanggung jawab (shared responsibility) dalam peradilan, sehingga bukan lagi peradilan dalam sistem satu atap.
“Jadi kalau dikatakan dengan peradilan satu atap, mestinya itu sudah selesai, seharusnya kita sudah masuk dalam tahapan yang berkaitan dengan akuntabilitas peradilan bukan independensi peradilan dalam sistem satu atap lagi,” tukas Farid.
Dalam negara demokrasi berkembang sistem peradilan dikatakan Farid sudah harus lebih terfokus pada akuntabilitas peradilan, yang akan terlihat dalam proses rekrutmen, rotasi mutasi, serta pengawasan hakim.
Farid kemudian memberikan contoh berkaitan dengan promosi dan mutasi hakim. Menurutnya dalam konteks faktual proses mutasi dan rotasi hakim memang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA).
“Namun dalam teorinya, kewenangan ini dapat dibantu oleh lembaga lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang, sehingga sistem peradilan tidak lagi menjadi satu atap namun ada pembagian tanggung jawab,” pungkas Farid.[IZ]