DEPOK (Panjimas.com) – Usia 15 tahun adalah usia yang sudah mampu berpikir dan bersikap mandiri, baik dalam pemikiran atau tindakan. Kemandirian dan semangat tinggi dalam mencari ilmu adalah modal dasar yang penting untuk membawa mereka menjadi pemimpin sejati di masa depan.
Demikian dikatakan Pimpinan Pondok Pesantren At-Taqwa- Depok, Ustaz Adian Husaini, belum lama ini (25/10/2018) saat memberi sambutan dalam launching buku pemikiran berjudul “Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia”, ditulis oleh Fatih Madini, seorang santri millenial berusia 16 tahun, yang juga merupakan putra kelima Ustaz Adian.
Dahulu, teori Ki Hajar Dewantoro, batas dewasa seseorang adalah 14-21 tahun. Tak heran, bila KH Imam Zarkasyi ketika mendirikan Ponpes Gontor masih berusia 16 tahun. Begitu juga Sentot Ali Basya Prawirodirdjo saat menjadi Panglima Perang Diponogoro mash berusia 21 tahun. Lalu KH. Agus Salim yang matang politik saat usia 21. Atau Mohammad Natsir yang ahli berdebat saat usia 21 tahun. Tak terkecuali tokoh PKI.
“Sahabat Nabi Abdullah bin Umar ketika mendaftar perang Uhud masih usia 14 tahu. Tapi kemudian ia baru diizinkan ikut perang Khandak oleh Nabi saw ketika telah berusia 15 tahun. Jadi batas dewasa seorang anak saat usia 15 tahun. Kalau seorang anak telah berusia 15 tahun, maka ia sudah memiliki kemandirian dalam berpikir dan bertindak.”
Orang tua tentu harus menyiapkan putra-putrinya yang berusia SD-SMP untuk menjadi dewasa, sehingga mandiri dalam pemkiran. Begitu telah akil baligh, ia sudah tahu, mana tauhid dan mana syirik, mana halal dan mana haram, serta baik-buruknya.
“Anak itu sebetulnya sudah dewasa, tapi kerap diperlakukan orang tuanya sebagai anak-anak, dan dipaksa jadi anak-anak. Kalau saya jadi presiden nanti, masa belajar SD cukup 5 tahun, SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun. Jadi usia 15 tahun sudah bisa kuliah. Seorang anak kalau dikasih tanggungjawab, biasanya cepat dewasa dan lebih mandiri,” kata Ustaz Adian.
Lebih lanjut Ustaz Adian menjelaskan, anak itu jangan terlalu banyak disuruh menjawab soal-soal ujian. Anak-anak juga harus dilatih menjawab soal-soal kehidupan. Karena itu, sekolah jangan mengambil semua perannya, sehingga tercerabut akar budayanya.
Apa yang terjadi sekarang adalah munculnya orientasi industri. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana setelah lulus sekolah bisa memperoleh , Perguruan Tinggi favorit, dan selanjutnya dapat kerja. Di ponpes ini, kalau ada anak pintar, kita arahkan menjadi ilmuwan dan ulama. Mengajarkan mereka untuk mencintai ilmu, menjunjung tinggi adab dan akhlak yang baik.
“Terpenting adalah punya sikap pembelajar dan cita-cita perjuangan. Jika sudah punya sikap pembelajar, dia akan mengejar ilmu dan gurunya sendiri. Diperlukan kreatifitas untuk menanamkan sikap itu, mengingat karater anak-anak itu berbeda-beda.
Seperti tujuan pendidikan nasional di Indonesia, sesuai UU 1945 Pasal 1 ayat 3: “Pemerintah mengusakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya, Pasal 31 ayat 5 menyebutkan: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Dengan demikian, inti pendidikan nasional, kata Adian, harusnya penanganan nilai-nilai, iman, takwa, dan akhlak mulia. Saat ini banyak cerita mengerikan tentang kondisi pendidikan kita, seperti adanya pelajar yang tewas saat tawuran, ke sekolah membawa senjata tajam. Pergaulan bebas dan LGBT diam-diam berkembang pesat.
“Ditambah lagi, pengaruh politik di media sosial, sehingga membuat jamaah facebooker, khususnya pelajar berkomentar dengan kata-kata yang kasar,” ungkap Ustaz Adian.
Untuk menghadapi era globalisasi, yang harus diselamatkan lebih dulu adalah iman atau akidahnya. Lalu ahlaknya, setelah itu bermanfaat bagi masyarakat sesuai kemampuannya.
“Sekarang ini pemikiran asing, seperti paham sekulerisme, pluralisme dan liberalisme telah merasuki dunia pendidikan kita, termasuk kurikulumnya. Dahulu, perdaban Islam begitu tinggi. Ulama mampu menghapal Al Qur’an dan hadits tanpa ada gangguan,” jelas Ustaz Adian.
Di Pondok Pesantren At Taqwa-Depok, selaku pimpinan, Ustaz Adian menekankan santrinya untuk bisa menulis. Penyair Taufik Ismail pernah mengatakan, sekarang pelajaran mengarang sudah tidak ada lagi. Hal itulah yang mendorong Ustaz Adian untuk melahirkan cendekiawan yang mampu menulis. (des)