JAKARTA, (Panjimas.com) – Adanya pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam, Wiranto pada rapat khusus pemerintah soal kasus pembakaran Bendera Tauhid yang terjadi di Garut berapa hari lalu dan kemudian memicu tanggapan dan komentar berbagai pihak soal masalah tersebut.
Salah satunya datang dari LBH Pelita Umat yang selama ini aktif memberikan advokasi dan bantuan hukum kepada Umat Islam. Melalui Ketuanya, Ahmad Khozinudin SH pun angkat bicara sebagai Ketua LBH Pelita Umat.
Bidang tugas Kementerian Politik Hukum dan Keamanan adalah mensinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Tugas ini mewajibkan kepada Kemenkopolhukam untuk melakukan mitigasi masalah dan pendalaman fakta secara benar dan sesuai fakta.
“Kekeliruan memahami masalah (fakta), dapat berakibat fatal. Alih-alih mensingkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan, kesalahan memetakan dan memahami masalah justru memicu kekeliruan sinkronisasi, mispersepsi dalam perencanaan, dan kesalahan eksekusi kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan,” tutur Ahmad Khozinudin. Rabu, (24/10).
Masih menurut dirinya, Wiranto tidak jujur dan menyampaikan persoalan secara benar. Fungsi koordinasi masih menyisipkan misi ‘Framing Koordinasi’ dengan mencoba membangun narasi publik pada arah dan tujuan lain yang justru berpotensi memecah belah bangsa dan mengganggu stabilitas keamanan negara.
Yang dikritisi oleh LBH Pelita Umat yang pertama adalah soal ketidakjujuran Menkopolhukam Wiranto ketika mengulang ulang pernyataan bahwa bendera yang dibakar adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Meskipun mengutip pengakuan anggota Banser, namun seharusnya Kemenkopolhukam membuat kajian mitigasi hukum tersendiri untuk memberi pemahaman ditengah masyarakat, tentang realitas dan hakekat bendera yang dibakar,” tegasnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan bendera yang dibakar dalam insiden bertuliskan lafadz Tauhid bukan merupakan bendera HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia. “Memang itu tidak ada HTI-nya, jadi itu kalimat tauhid. Kami melihat yang dibakar kalimat tauhid karena tidak ada simbol HTI,” kata Wakil Ketua Umum MUI Yunahar Ilyas di gedung MUI Pusat, Jakarta Pusat, pada Selasa, 23 Oktober 2018.
“Secara faktual bendera dengan lafadz tauhid tidak mencirikan atau dapat dianggap sebagai atribut ormas tertentu. Secara hukum, ciri identik lambang atau simbol ormas, termasuk atribut ormas dapat dibaca melalui penjelasan dalam AD dan ART ormas,” ujar Ahmad.
Jika bendera dengan Lafadz tauhid ini dianggap bendera HTI, Kemenkopolhukam dapat dengan mudah mengecek data di kemenkumham pada arsip lampiran penerbitan SK Badan Hukum Perkumpulan Ormas HTI. Didalam AD ART HTI, tidak pernah memuat satupun pasal yang mengklaim dan menjelaskan bahwa bendera dengan lafadz ‘LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADDUR ROSULULLAH merupakan atribut atau bendera dari ormas HTI.
Juru bicara HTI Ismail Yusanto juga sendiri, telah mengklarifikasi bahwa Al Liwa dan Ar Roya atau dikenal umum sebagai Bendera Tauhid adalah bendera Rasulullah. Bendera kaum muslimin sedunia, bukan bendera milik HTI. Begitu juga HTI sendiri menyatakan tidak memiliki bendera organisasi.
“Jika Wiranto merasa kurang yakin, maka Kemenkopolhukam juga dapat meminta kepada Kemenkumham khusus pada Ditjen HAKI untuk memastikan apakah bendera dengan lafadz tauhid ini telah didaftarkan menjadi hak paten ormas tertentu dan bagi Kemenkopolhukam, pekerjaan ini sangat mudah karena kemenkumham berada dibawah koordinasi Kemenkopolhukam,” tuturnya.
Mengulang-ulang pernyataan bendera tauhid adalah bendera HTI tentu akan sangat meyakini hati kaum muslimin. Kaum muslimin merasa direndahkan karena ketika membawa bendera Rasul, bendera yang menjadi simbol kemuliaan Islam dan kaum muslimin, dianggap membawa pesan ashobiyah, karena dituding membawa bendera HTI.
“Pernyataan keliru ini, jika diteruskan bukan meredam suasana justru sebaliknya. Rasa marah kaum muslimin atas pembakaran bendera tauhid, semakin memuncak karena adanya tudingan-tudingan jahat yang membatasi Lafadz tauhid dan benderanya hanya milik ormas 5 tradisional tertentu saja,” pungkasnya. [ES]