PALU (Panjimas.com) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulteng, Habib Ali bin Muhammad Al-Jufri mengingatkan, bahwa gempa dan tsunami yang melanda Palu dan sekitarnya merupakan peringatan dari Allah Swt.
“Pertama-tama tentunya, kita sebagai umat Islam merasa sedih dengan apa yang terjadi. Dan, kita berbelasungkawa terhadap apa yang menimpa masyarakat kita, dan kita memohon agar mereka-mereka itu diampuni oleh Allah Subhanahu Wata’ala,” kata Habib Ali.
Sebelumnya, ungkap Habib Ali, berbagai peringatan-peringatan telah diberi. Klimaksnya, gempa bumi dan tsunami memporak-porandakan Palu, Sigi, Donggala, dan sekitarnya. “Dengan bencana ini, sudah seharusnya membangkitkan kesadaran umat untuk beritighfar sekaligus memohonkan ampun kepada mereka yang menjadi korban.”
Ketua Pengurus Besar Al-Khairat Palu itu pun menuturkan bahwa tidaklah satu musibah terjadi, melainkan memberikan peringatan penting. “Ini (gempa dan tsunami) merupakan peringatan dari Allah Swt, yang sebelumnya, berbagai peringatan-peringatan telah diberi. Dan, hari Jumat kalau dalam riwayat (Hadits) adalah jatuhnya hari kiamat. Jadi musibah ini yang terjadi pada hari Jumat adalah gambaran, yang dijanjikan Allah itu pasti datang,” paparnya.
Oleh karena itu, Habib Ali mendorong agar kaum Muslimin, penduduk Palu, Donggala, dan Sigi serta umumnya umat Islam di Indonesia untuk tidak bermain-main dengan peringatan Allah.
“Musibah atau kiamat itu pasti datang. Akan tetapi karena ulah maksiat umat manusia, maka musibah itu Allah datangkan lebih cepat. Artinya ini adalah percepatan dari kita sendiri, sehingga teguran (peringatan) ini ada,” tegasnya.
Selanjutnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Jufri mendorong umat Islam untuk tidak lagi ragu-ragu dengan peringatan Allah dalam hal ini terhadap kitab suci Al-Qur’an. “Dan, seharusnya kita sebagai umat Islam, sudah seharusnya sudah sadar, bahwa apa yang Allah perintahkan dan Allah larang yang ada di dalam Al-Qur’an itu kita laksanakan. Karena tidak ada keraguan sedikit pun dari Al-Qur’an. Cuma (sayangnya) masih banyak umat Islam yang ragu dengan kitab sucinya sendiri,” ulasnya.
Sebelum bencana alam gempa dan tsunami melanda Kota Palu, Jumat (28/09/2018), banyak warga yang menghadiri kegiatan festival kebudayaan Palu Nomoni di Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah. Para warga hadir di pantai tersebut untuk menyaksikan kegiatan ritual kemusyrikan Balia yang sudah lama hilang, tapi kemudian dihidupkan kembali, sejak 2016, ketika terpilihnya Wali Kota pasangan Hidayat – Sigit Purnomo Said (Pasha).
Festival Palu Nomoni
Rencananya, pada tanggal 24 hingga 26 September nanti, Kementrian Pariwisata (Kemenpar) akan mendukung salah satu event yang digelar di kota Palu. Perhelatan Festival Pesona Palu Nomoni yang diselenggarakan di Kota Palu.
“Kami sudah mendapatkan kabar dari panitia bahwa akan disediakan sembilan panggung pertunjukkan dan lima arena ritual di sepanjang 7,2 km Teluk Palu. Kami yakin sensasinya akan luar biasa dan sangat menghibur,” ujar Asdep Pengembangan Segmen Pasar Personal Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Kemenpar, Raseno Arya, sebelum gempa dan tsunami terjadi.
Raseno juga mengungkapkan bahwa pembangunan panggung tersebut sudah berlangsung selama dua hari terakhir. Diawali dari pembangunan panggung utama seluas 22 x 12 m untuk dijadikan pusat kegiatan pembukaan dan penutupan acara. Panggung utama tersebut dibangun di bagian utara Teluk Palu,lebih tepatnya di dekat lokasi penggaraman.
Menurut panitia, lokasi tersebut dipilih karena areanya luas. Selain itu, lokasinya juga strategis. Di sana para pengunjung dapat melihat secara empat dimensi, juga dapat menikmati keindahan kota Palu, yakni teluk, lembah, sungai, gunung, dan penggaraman,” kata Raseno.
Lokasi penggaraman tersebut juga unik karena berada di tengah kota dan hingga kini masih lestari. Sebab, lokasi penggaraman diwariskan secara turun temurun oleh pemiliknya. Selain itu, lokasi panggung utama ini diperkirakan bisa menampung 2.000 hingga 2.500 pengunjung sekaligus.
“Dari sembilan panggung yang akan dibangun, delapan di antaranya akan digunakan sebagai pertunjukan seni budaya nusantara. Selain itu, sejumlah perwakilan budaya dari berbagai etnis seperti Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi Selatan sudah siap mengisi sejumlah panggung tersebut,” jelas Raseno.
Hidayat selaku Walikota Palu juga mengatakan bahwa panggung nusantara tersebut dapat didekorasi sesuai dengan budaya atau adat dari daerah mana saja yang ingin menampilkan budayanya.Nantinya, aka nada 5 arena pertunjukan ritual adat balia, selain dari sembilan panggung itu. Ritual adat balia merupakan ritual masyarakat Kaili yang mendiami lembah Palu.
Ritual balia dilakukan dengan menginjak bara api secara berulang. Hal tersebut diyakini oleh masyarakat setempat dapat menyembuhkan orang sakit dengan kekuatan magis. “Kita hanya ingin ritual ini jadi seni pertunjukan karena sudah hampir punah. Diharapkan melalui pertunjukan itu, generasi sekarang masih bisa menyaksikan tradisi ini,” kata Hidayat yang berharap Menpar Arief Yahya bisa hadir di Palu.
“Ada sepuluh ritual adat balia, kemarin juga sudah disurvei tempatnya. Ritual ini merupakan kekayaan budaya nasional di tanah Kaili,” ungkap Sudaryano Lamangkona, salah satu panitia Festival Palu Nomoni yang dihubungi di Palu.
Ritual khas Palu itu, terdiri atas Ritual Pompoura (Tala Bala`a) dari Kelurahan Balaroa dan Ritual Adat Enje Da`a dari kelurahan Donggala Kodi. Ritual tersrbut nantinya akan digelar di depan rumah makan Taman Ria, Teluk Palu. Kemudian Ritual Tampilangi Ulujadi dari Kelurahan Kabonena dan Pompoura Vunja dari Kelurahan Petobo yang akan dilaksanakan di Taman Datokarama.
Selanjutnya, Ritual Manuru Viata Kelurahan Tipo dan Ritual Adat Jinja Kelurahan Lasoani juga akan dilaksanakan di ujung Jembatan 4 Ponulele. Ada lagi ritual Balia Topoledo Kelurahan Taipa dan Vunja Ntana Kelurahan Tanamodindi yang akan dilaksanakan di Tugu Gerhana Matahari Teluk Palu.
Sedangkan ritual Tampilangi Api Kelurahan Kayumalue Pajeko dan Nora Binangga, Kelurahan Kavatuna dilaksanakan di pusat rekreasi masyarakat. Kegiatan tersebut, seperti direncanakan sebelumnya, akan dilaksanakan mulai pukul 17.00 WITA di sepanjang 7.2 km Teluk Palu. Selain ritual adat, juga ada pertunjukan 520 titik obor dan 520 peniup lalove. Lalove merupakan alat musik tradisional Tanah Kaili.
Walikota Palu, Hidayat juga mengungkapkan bahwa Festival Palu Nomoni (Kota Palu bergaung), dahulu bernama Festival Teluk Palu. Kini, festival tersebut dijadikan sebagai ajang promosi Kota Palu dan merupakan destinasi unggulan di Sulawesi Tengah. Festival ini sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Bukan hanya wisatawan lokal saja, melainkan juga wisatawan mancanegara.
“Kegiatan kedua akan mengangkat ritual adat dan budaya dan uniknya kendaraan yang boleh digunakan di sepanjang 7,2 km di Teluk Palu selama festival berlangsung itu hanya dua yakni dokar dan sepeda,” kata Hidayat.
Kota Palu di bawah kepemimpinan Hidayat dan Sigit Purnomo Said alias Pasha Ungu periode 2016-2021 akan dibangun dengan visi yang “lebih baik”. Salah satunya dengan menjadikan Kota Palu sebagai kota jasa yang berbudaya dan beradab. Nyatanya, justru menghidupkan kembali kemusyrikan, kerusakan moral dan akidah.
Diprediksi juga, selama tiga hari penyelenggaraan festival akan terjadi perputaran uang sebesar Rp248,4 miliar. Masing-masing, 300 ribu wisatawan nusantara mengeluarkan uang sebanyak Rp240 miliar dan 500 wisatawan asing mengeluarkan uang sebanyak Rp8.4 miliar. (des)