PALU (Panjimas.com) – Sebagian besar masyarakat Palu yang mayorita beragama Islam kerap menyalahkan Pemerintah Kota Palu yang telah menggelar Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018.
Pasca dilanda gempa dan tsunami, banyak coretan di dinding, bekas runtuhan gempa di sepanjang kota Palu, Sulawesi Tengah, bahkan di bibir pantai, yang bertuliskan “Walikota Palu Pemuja “Setan”. Coretan dinding lainnya bertuliskan “Wali Kota Jangan Sembunyi” dan “Palu Nomoni Bikin Hancur Kota Palu dan Sekitarnya”.
Sebelumnya, beberapa hari pasca bencana, ada beberapa video dan foto-foto yang viral dan tersebar luas di sosial media. Video dan foto tersebut menampilkan, adanya sejumlah warga Palu yang membuat sesajen di pesisir pantai Palu. “Korban Palu tsunami akibat Palu Nomoni membuat Palu Menangis,” demikian bunyi tulisan tersebut.
Festival Pesona Palu Nomoni 2018 adalah adat budaya yang baru saja dijadikan event tahunan oleh Wali Kota Hidayat. Tahun ini adalah tahun ketiga diadakannya event tersebut. Di antaranya ada ritual lempar sesajen ke laut, dengan harapan bisa menyembuhkan penyakit.
Sebelum bencana alam gempa dan tsunami melanda Kota Palu, Jumat (28/09/2018), banyak warga yang menghadiri kegiatan festival kebudayaan Palu Nomoni di Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah. Para warga hadir di pantai tersebut untuk menyaksikan kegiatan Balia yang memang sudah lama hilang.
Kegiatan Balia merupakan kegiatan yang sudah lama hilang dan ingin dihidupkan kembali. Balia sendiri dahulu digunakan untuk mengobati orang sakit menggunakan mantra dan dilakukan oleh orang yang ahli.
Menurut Abu Umar, warga setempat, budaya ini baru dihidupkan kembali sejak 2016, biasanya menggunakan sesajen, seperti menghanyutkan makanan ke laut, dan hewan ternak seperti ayam, kambing hingga kerbau.
Palu Nomoni berarti Palu berbunyi atau bergema. Menurut Abu Umar, tradisi ini sebenarnya sudah lama lenyap sejak kedatangan Guru Tua Habib Idrus bin Salim Al Jufri, yang disebut masih memiliki sanad keturunan dari Baginda Rasulullah Saw.“Sebenernya tradisi ini sudah lama hilang, dibersihkan sejak kedatangan guru tua, namun kembali dihidupkan,” tuturnya.
Dimulainya tradisi ini sejak 2016, terpilihnya Wali Kota pasangan Hidayat – Sigit Purnomo Said (Pasha). Namun sejak 2016 juga terus terjadi hal-hal aneh seperti angin kencang. Jadi tradisi ini memang identik dengan roh halus.
Ritual Balia
Ritual Balia biasanya dilakukan oleh masyarakat adat yang percaya api dapat mengusir penyakit. Tercatat ada sepuluh ritual yang harus dilakukan dalam prosesi balia yang terdiri atas ritual pompoura atau tala bala’a, ritual adat enje da’a, ritual tampilangi ulujadi, pompoura vunja, ritual manuru viata, ritual adat jinja, balia topoledo, vunja ntana, ritual tampilangi, dan nora binangga.
Berbagai ritual tersebut dapat memakan waktu hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung tingkat keparahan penyakit yang ingin diobati. Prosesi dimulai dengan persiapan berbagai bahan upacara mulai dari dupa, keranda, buah-buahan, hingga hewan kurban seperti ayam, kambing, atau kerbau tergantung kasta sang penyelenggara prosesi.
Ketika persiapan rampung, pawang yang harus dibawakan oleh laki-laki mulai menyebut jampi dan mantra. Ia menyebutkan berbagai mantra untuk memanggil arwah dan memberikan sejumlah sesajian berbeda pada tiap prosesi yang diletakkan dekat dupa.
Tarian khas balia juga harus terus dilakukan menemani orang sakit yang diusung hingga acara puncak, penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban tersebut adalah simbol harapan kesungguhan atas kesembuhan.
Sejarawan dari Universitas Tadulako, Andriansyah Mahid, menjelaskan bahwa ritual balia kerap dilaksanakan sebelum agama Islam masuk ke Sulteng. Menurutnya, ritual itu dilakukan karena masyarakat suku Kaili masih menganut animisme dan dinamisme kala itu sehingga masih percaya pada kekuatan roh nenek moyang.
“Setiap adakan sesuatu pasti harus ada sesajen, sama seperti masyarakat nusantara pada umumnya sebelum mengenal Islam,” kata Andriansyah kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (7/10).
Dia pun menuturkan, ritual balia diselenggarakan untuk mengharapkan perlindungan roh nenek moyang atau tempat yang dianggap keramat. Ritual ini biasanya diselenggarakan ketika ditemukan warga atau masyarakat yang tak kunjung sembuh dari penyakit yang diderita atau penyakit karena gangguan kekuatan supranatural. “Misalnya orang sakit enggak sembuh, ada penyakit dianggap gangguan supranatural, ya mereka adakan balia,” ucapnya.
Namun demikian, Andriansyah berkata, ritual balia mulai jarang dilaksanakan oleh warga suku Kaili. Dia berkata, masyarakat yang masih menjalankan ritual balia antara lain tinggal di daerah Balaroa, Donggala, dan Pantai Barat. Tapi ritual Balia malah dihidupkan kembali oleh Pemerintah Kota Palu, bersamaan dengan diselenggarakannya Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018.
“Sudah sangat jarang Balia sekarang, itu yang masih adakan orang yang tinggal di daerah pinggiran masyarakat tradisional, terutama kalangan orang tua. Pelaksanaan sudah jarang,” tuturnya.
Setiap tahun dalam perayaan Festival Pesona Palu Nomoni selalu saja ada kejadian aneh, dan tahun ini adalah yang paling parah karena bencana gempa dan tsunami yang menghantam Kota Palu, pada Jumat (28/9/2018) sore menjelang malam. (des)