PALU (Panjimas.com) – Selama melakukan perjalanan jurnalistik untuk meliput bencana pasca gempa dan tsunami di Palu, Panjimas yang mewakili Forum Jurnalis Muslim (Forjim) melakukan napak tilas ke beberapa titik bencana, mulai dari Balaroa, Petobo, Pantai Talise, hingga Mamboro, penulis banyak berbincang dengan warga Palu yang menjadi korban bencana alam yang amat dahsyat itu.
Masyarakat menilai, gempa dan tsunami yang terjadi di Palu adalah akibat
Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018 yang digelar Pemerintah Kota Palu dan didukung oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kementerian Pariwisata.
Festival tersebut bertujuan mengungkap kembali kearifan budaya masa lalu yang sudah ratusan tahun tenggelam, kemudian dimunculkan kembali dibalut dengan kemasan atraksi seni pertunjukan yang mengangkat kembali nilai-nilai kebudayaan yang arif dan luhur.
Pasca gempa dan tsunami, festival tersebut menjadi cibiran masyarakat. Sejumlah korban gempa menyuarakan kekecewaannya terhadap ritual Balia yang dihadirkan dalam festival. Warga menganggap salah satu adat suku Kaili itu sebagai penyebab terjadinya gempa dan tsunami di Palu. Beberapa di antara mereka menganggap ritual balia sebagai kemusyrikan.
Ustaz Abu Umar, salahsatu warga Palu yang rumahnya roboh akibat gempa, menyesalkan diadakannya ritual balia yang sudah lama punah, belakangan dihidupkan kembali dalam Festival Palu Nomoni di era kepemimpinan wali kota dan wakil wali kota, Hidayat-Sigit Said Purnomo alias Pasha Ungu.
Abu Umar haqqul yaqin, bencana gempa dan tsunami yang melanda wilayah Sulteng disebabkan oleh ritual balia dalam Palu Nomoni. “Saya kecewa dan orang-orang juga pada bilang gara-gara itu (Palu Nomoni),” kata Abu Umar saat ditemui Panjimas di Posko Lazis Wahdah Peduli Gempa Palu, di Sigi, beberapa waktu lalu.
Ustadz Abu Umar mengatakan, sejak diselenggarakan secara rutin setiap tahun mulai 2016, Palu Nomoni senantiasa menghadirkan peristiwa alam.
Pada 2016, terjadi gempa di daerah Bora dan Sigi Biromaru. Kemudian, pada 2017, terjadi angin kencang dan hujan deras di Talise. Sedangkan pada 2018, terjadi gempa dan tsunami yang melanda tiga wilayah.
” Festival Pesona Palu Nomoni 2018 adalah kegiatan untuk ketiga kalinya. Sebelum tsunami, Festival dibuka pukul 15.00 WITA, dan sempat terjadi gempa kecil, kemudian saat Maghrib tiba, tsunami mulai menghajar Palu, sepanjang Pantai Talise,” ungkap Abu Umar.
Sebelum gempa dan tsunami terjadi, warga berkumpul di Pantai Talise untuk menyaksikan pagelaran tersebut. Bahkan ada yang bersiap-siap dari rumahnya masing-masing untuk menonton festival tersebut.
Korban Tsunami
Perhelatan tahunan ini rencananya digelar selama tiga hari, yaitu mulai 28 hingga 30 September 2018. Sayangnya, acara yang sudah dirancang sejak jauh-jauh hari tersebut, batal digelar. Panggung megah dan euforia untuk merayakan festival ini justru berganti dengan banjir air mata.
Selain itu, dalam festival tersebut digelar sejumlah ritual adat Balia dari suku Kaili. Satu di antaranya ritual Pompoura (Tala Bala’a), yaitu ritual menginjak-injak bara api oleh masyarakat Kaili yang dipercaya bisa mengusir penyakit.
Suku Kaili adalah satu suku yang mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Nama Nomoni yang melekat pada acara ini juga diambil dari bahasa suku Kaili, yang berarti bergema.
FPPN Tahun 2018, ditargetkan mampu menyedot 800 ribu wisatawan dengan 500 ribu di antaranya merupakan wisatawan mancanegara. Akhirnya, acara yang sudah dirancang sejak jauh-jauh hari tersebut, batal digelar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sempat menyebut, puluhan hingga seratusan orang pengisi acara Festival Pesona Palu Nomoni 2018 belum diketahui nasibnya. Sebagian besar dari mereka adalah para penari.
Gempa bumi mengguncang wilayah Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). Gempa berkekuatan 7,7 SR yang kemudian direvisi menjadi 7,4 SR ini sempat memicu tsunami yang terjadi di Pantai Donggala dan Pantai Talise, Palu. Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebut, jumlah korban meninggal dunia mencapai 2000 lebih. (des)