PALU (Panjimas.com) – Di sebuah warung kelontong, seorang ibu bernama Indolinse, warga asli Palu bercerita tentang nasib putranya yang meninggal dunia dihantam tsunami pada Jum’at, 28 September 2018 yang lalu.
“Anak saya bernama Amran, usianya 46 tahun. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Sehari-hari Amran mengajar sebagai guru ngaji. Sebelum ajalnya datang, Amran sempat mengisi khutbah di sekitar Pelabuhan Pantoloan, Palu. Sebelum terjadi tsunami, Amran berpesan dalam khutbahnya, ajal siapa yang tahu. Saya atau kalian lebih dulu yang meninggal,” kata Ibu Indolinse.
Sebelum maut datang, Amran punya agenda untuk ikut pengajian dengan gurunya. Tapi sang guru berhalangan, ia pergi ke Palu. Amran pun batal mengaji. Sambil menanti azan Maghrib, Amran mengisi waktu luangnya di pantai untuk memancing. Tanpa dinyana, bencana datang, gempa dan tsunami menerjang pantai di sekitar pelabuhan Pantoloan. Tubuh Amran pun terhempas diterjang tsunami.
“Alhamdulillah, kami temukan tubuh Amran tergeletak di tepi pantai yang porak poranda. Saat ditemui, wajahnya berseri, tubuhnya tak hancur. Banyak kenangan selama hidupnya,” kata Ibu Indolinse berupaya tegar dengan kematian putra kesayangannya.
Ibu Indolinse bercerita, selama hidupnya, Amran kerap memberi nasihat kepada pengunjung pantai yang suka berjudi. Amran pun mengajaknya untuk mengaji. “Biasanya judi bersama keluarganya. Ketika Amran menasihati, ia dimintai dalilnya. Setelah dikasih dalil tentang haramnya berjudi, orang yang dinasihatinya itu malah balik mencela dirinya.
Berkali-kali Amran memberi nasihat, menjalankan amar maruf nahi munkar, tapi ia selalu dibalas dengan kata-kata nyinyir oleh orang yang dinasihatinya. “Katanya, untuk apa ngaji. Ngaji tak bisa menghasilkan uang,” kata Ibu Indolinse ditemani putrinya yang nomor dua.
Saat gempa dan tsunami terjadi, Ibu Indolinse sendiri, sedang menangkap ayam, hewan peliharannya. Tapi anehnya, ayam itu berputar-putar, tak tertangkap-tangkap. Nenek itu malah memukul sang ayam saking kesalnya. Detik-detik tsunami datang, Ibu Indolinse bersama anak dan cucunya, berlarian ke belakang rumahnya, menuju ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatakan diri.
Saking paniknya, sang nenek itu tak sempat menutup warungnya lebih dulu. Ia tinggalkan begitu saja warung kelontongnya . Begitu juga warung milik tetangga sebelahnya, tak sempat menutup warungnya. Ia sudah tak peduli dengan harta-benda miliknya, terpenting menyelematkan diri dan keluarganya. (des)