PALU (Panjimas.com) – Salahsatu daerah yang porak-poranda terdampak parah akibat gempa di Palu adalah di kelurahan Petobo, kecamatan Palu Selatan, Sulawesi Tengah. Gempa itu disusul dengan lumpur yang keluar dari perut bumi, hingga menguburkan sebagian wilayah Kelurahan Petobo. Jalan aspal tiba-tiba menekuk-nekuk ke atas seperti gelombang laut.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada tanggal 28 September 2018 pukul 18.02 WITA, gempa bumi berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang daerah Donggala, Palu dan sekitarnya, termasuk kelurahan Petobo.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, fenomena tanah yang berubah menjadi lumpur dan kehilangan kekuatan disebut likuifaksi. BNPB memperkirakan tedapat 5.000 orang lebih yang masih hilang di Balaroa dan Petobo, yang mengalami likuifaksi dan amblesan.
Juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menjelaskan di Petobo ini terdapat setidaknya 744 unit rumah warga yang “tertelan lumpur” dalam fenomena yang dikenal dengan likuifaksi. “Permukaan tanah bergerak dan ambles sehingga semua bangunan hancur. Sedimen-sedimen bawah tanah mencair akibat tekanan gempa dan menjadi seperti lumpur. Lumpur inilah yang menelan rumah-rumah warga.
Dalam perbincangan Panjimas dengan sebagian warga Palu, rupanya Petobo dikenal sebagai kawasan hunian penduduk dengan stigma negatif. “Petobo memang dikenal sebagai tempat orang berjudi, sabung ayam, narkoba, hingga perzinahan. Kemaksiatan ada di tempat ini,” kata salah seorang warga yang tak mau disebut namanya.
Petobo memang bukan kawasan prostitusi yang legal. Namun rumah-rumah penduduk banyak yang dijadikan sebagai tempat orang berjudi, sabung ayam, narkoba hingga pelacuran.
“Jika berkunjung ke Petobo, biasanya diawali dengan bertamu. Setelah itu, seorang ayah yang juga kepala rumah tangga, mulai menawarkan istri dan anak-anaknya sebagai pelacur. Jika tak cocok, mereka yang bertamu bisa berpindah ke tetangganya yang lain untuk modus yang sama,” ungkap salah seorang driver yang pernah melancong ke kawasan itu.
Sebelum terjadi gempa dan tsunami di Palu dan sekitarnya, salah seorang warga yang selamat, misalnya, mengaku akan bersiap-siap ke Pantai Talise untuk menghadiri pesta adat Palu Nomoni, yang diadakan setahun sekali itu.
“Setelah mandi sudah mau ke sana, tiba-tiba datang gempa. Ketika itu keluarga besar berkumpul di rumah salah satu kerabat di Palu, bersiap-siap untuk menghadiri festival tersebut. Mereka bahkan mengenakan pakaian terbaiknya dan sempat membeli baju baru untuk anaknya,” ungkapnya.
Sebelum gempa dan tsunami terjadi, menurut warga di Palu, bencana telah menimpa Palu. Pertama, Palu diterjang angin kencang. Kedua, populasi buaya di Sungai Palu menjadi bom waktu bagi masyarakat. Meningkatnya populasi buaya di Palu, telah menelan korban. Ketiga, terjadinya gempa dan tsunami setelah pembukaan Pesta Adat Festival Nomoni yang diadakan untuk yang ketiga kalinya itu.
Wallahu’alam, apakah karena kemaksiatan dan kemusyrikan ini, Tuhan dan alam murka, hingga memporak-porandakan Petobo dan sekitarnya. Semoga menjadi renungan bagi kita semua. (des)