JAKARTA, (Panjimas.com) – Persoalan divestasi saham PT Freeport Indonesia saat ini tengah menjadi sorotan tajam bagi semua pihak, tak terkecuali oleh organisasi Eksternal Mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) melalui Ketua PB HMI Bidang Lingkungan Hidup, Abdul Rabbi Sahrir turut memberikan tanggapan atas permasalahan tersebut, namun pihaknya tak mau memgomentari perihal belum terrealisasikanya divestasi saham Freeport tersebut, melaikan pihaknya lebih melihat kepada persoalan lingkungan.
Ia menyampaikan bahwa lingkungan memiliki haknya untuk mempertahankan bentuknya (Bentang Alam), memiliki haknya untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung, memiliki hak- nya untuk tetap lestari agar tetap dapat bermanfaat secara berkelanjutan (sustainable).
“Sebagai Ketua PB HMI Bidang Lingkungan Hidup mengenai persoalan divestasi saham Freeport, saya lebih melihat kepada persoalan Lingkungan. Kami ingin menyampaikan bahwa lingkungan memiliki haknya untuk mempertahankan bentuknya (Bentang Alam), memiliki haknya untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung, memiliki hak- nya untuk tetap lestari agar tetap dapat bermanfaat secara berkelanjutan (sustainable),” katanya, Sabtu, (20/10).
Rabbi, meminta pemerintah harus tegas kepada PT FFI agar menyelesaikan kewajiban lingkungannya, yang menurut temuan dari BPK kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari operasi PT FFI menyebabkan kerugian negara mencapai 185, 01 Triliun rupiah. Belum lagi, menurutnya, penggunaan kawasan hutan lindung kurang lebih seluas 4.535,93 Ha tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Pemerintah harus tegas kepada PT. FFI agar menyelesaikan kewajiban lingkungannya, karena menurut temuan BPK kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari operasi PT FFI menyebabkan kerugian negara mencapai 185, 01 Triliun rupiah. Belum lagi penggunaan kawasan hutan lindung kurang lebih seluas 4.535,93 Ha tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH),” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendapati bahwa bagaimana Freeport juga pernah lalai dalam melaksanakan kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Telah terbit dua PP, tahun 2014 dan 2017, dengan total penambahan jangka waktu hingga 13 tahun, namun pembangunan semelter PT Freeport belum menunjukkan perkembangan yang berarti, ditambah proses divestasi belum terealisasi sebagamana kesimpulan Rapat Koordinasi komisi VII DPR dengan berbagai pihak tertanggal 17 Oktober 2018 lalu.
“Freeport ini pernah lalai dalam melaksanakan kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Telah terbit dua PP, tahun 2014 dan 2017, dengan total penambahan jangka waktu hingga 13 tahun, namun pembangunan semelter PT Freeport belum menunjukkan perkembangan signifikan,” tegasnya.
Maka dari itu Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Bidang Lingkungan Hidup meminta secara tegas kepada pemerintah melalui kementrian ESDM untuk mempertimbangkan aspek Lingkungan Hidup sebagai agenda unggulan dalam pembahasan divestasi dan meminta secara tegas kepada KLHK untuk memberi sanksi tegas terhadap sejumlah permasalahan lingkungan yang ada.
“Yang terakhir Pemerintah Indonesia harus menyiapkan kebijakan transisi yang berkeadilan (trantitional justice) bagi orang Papua dan lingkungan hidup. Yang artinya dalam proses menuju ke arah phase out tersebut, maka kewajiban-kewajiban Freeport ini harus dipenuhi, antara lain pemulihan lingkungan hidup yang telah dicemari dan dihancurkan,” pungkasnya. [ES]