JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya Gusrizal Gazahar menolak tegas konsep Islam Nusantara untuk digunakan di Ranah Minang (Sumatra Barat). Karena, menurut dia, Islam tidak perlu diberi label apapun. Termasuk juga label Islam berkemajuan yang digagas Muhammadiyah ataupun Islam Wasathiyah yang dibuat MUI sendiri.
“Jelas di dalam keputusan kami MUI Sumatra Barat itu kan jelas, Islam tidak perlu dilabel lagi dengan tambahan apapun. Istilah Islam itu sudah sempurna bagi kami di Ranah Minang,” ujar Gusrizal, Jumat (13/10). Demikian dilansir republika.
Menurut dia, jika Islam diberikan embel-embel atau label akan banyak menimbulkan banyak masalah dan akan membuat bingung umat Islam. Seperti halnya Islam Nusantara, menurut dia, konsep itu muncul sejak 2015 lalu. Namun, kata dia, dalam sejarahnya ternyata banyak nahdliyin yang juga tidak sepakat dengan Islam Nusantara tersebut.
“Di 2015 sendiri baca saja sejarahnya, kawan-kawan nahdliyin juga tidak semuanya sepakat kan. Lihat saja itu, di dalamnya saja sampai 2016 ada Bahtsul Masail di NU Jatim, dinyatakan di situ belum ada pengertian yang definitif terkait itu,” ucapnya.
Kemudian, lanjut dia, dalam implementasinya Islam Nusantara juga terdapat perbedaan di antara pandangan tokoh NU. Dia pun mempertanyakan kenapa di dalam Islam Nusantara itu juga ada pembenturan antara Islam Arab dan Islam Nusantara. “Kenapa mulai ada perbenturan-pembenturan Islam Arab dan Islam Nusantara dan berbagai macam,” ucapnya.
Hal tersebut, menurut dia, justru akan membuat perpecahan di internal umat Islam. Karena itu, dia berharap agar Islam Nusantara cukup di jalankan di internal NU saja, sehingga persatuan umat Islam tetap terjaga. “Saya berharap kalau kita betul serius ingin menjaga persatuan umat, sudahlah itu konsep kelompok, jalankan saja dalam kelompoknya,” katanya.
Dia mengatakan, sudah saatnya umat Islam memahami posisinya masing-masing dalam kehidupan berbangsa, sehingga menjadi bagian dalam kebersamaan. Namun, kata dia, yang terjadi di negeri ini justru seolah-olah dipaksa untuk menggunakan konsep Islam dari kelompok Islam tertentu. “Jadi kalau orang menjadi bagian kebersamaan, dia harus mengakui ada eksistensi orang lain. Selama tidak keluar dari konsep kehidupan bersama maka akan saling menghargai,” jelasnya. [RN]