DEPOK (Panjimas.com) — Jika tidak bisa mengikuti kearifan lokal, karena perbedaan pola pikir dan pandang, maka Surat Edaran tentang Pengaturan pengeras suara adzan di masjid, langgar dan musholla, cukup sebagai pedoman, yang nantinya dibahas bersama ormas Islam dan tokoh masyarakat.
“Melihat kondisi masyarakat yang heterogen dengan perbedaannya yang ada, baik di wilayah terpencil, pedesaan maupun perkotaan, maka aturan itu bukan hanya berlaku di perkotaan, tapi seluruhnya,” kata Kiai Cholil kepada Panjimas di Pesantren Cendekia Amanah di Depok, belum lama ini (7/10/2018).
Satu hal, Surat Edaran itu bukan didasarkan pada sanksi, tapi atas kesadaran. Sehingga isinya bukan merupakan instruksi atau aturan, tapi lenih kepada pedoman. Sehingga ada persepsi yang sama tentang penggunaan pengeras suara.
“Di seluruh negara, adzan boleh keluar. Bahkan dalam hadits Nabi, adzan harus diserukan dengan suara yang keras, karena dulu belum ada pengeras suara. Artinya, adzan harus menjangkau masyarakat. Selama adzannya tidak berlebihan. Dengan demikian, pengeras suara kedalam adalah terkait khutbahnya atau pengajiannya.”
Sebetulnya Surat Edaran itu untuk menjelaskan dan mengingatkan pada level kementerian di bawah, atau jajaran kementerian agama. Bukan instruksi ke masyarakat. Masyarakat hanya menerima dari sosialissi jajaran kementerian agama. Masyarakat memang tak bisa diinstruksi. Masyarakat bisa diinstruksi dengan adanya peraturan perundang-undangan. Jadi kalau masyarakat tidak mematuhi surat edaran, maka tidak ada sanksi apa-apa.
Sekali lagi, tidak ada yang membatasi adzan. Yang diatur adalah bacaan wirid, istighotsah, ceramah, kuliah subuh.
“Sepertinya ada misinformasi. Harapan saya, yang dibutuhkan masyarkat bukan semacam instruksi, tapi pedoman yang melibatkan ormas-ormas Islam, sehingga pedoman itu berdasarkan pada kesadaran.”
Masyarakat jika dikasih sanksi terkait ini, nantinya agar berakibat diskriminasi, kecuali jika dapat merusak ketertiban umum.“Perlu dipikirkan juga, aturan itu bukan hanya ditujukan kepada umat Islam saja, tapi juga rumah-rumah ibadah lainnya, termasuk aliran kepercayaan. Dengan begitu perlu ditingkatkan menjadi peraturan menteri agama,
Pedoman itu dibuat, jika dirasa tidak ada tenggang rasa dan adanya kesalahpahaman di masyarakat. Pedoman ini manjadi bagian dari stabilitas dan ketertiban umum. “Saya rasa, surat edaran itu tak perlu dicabut, hanya disempurnakan saja. Kontennya disesuaikan dengan kondisi zaman,” kata Kiai Cholil. (des)