NEW DELHI, (Panjimas.com) — Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres baru-baru ini kembali menyinggung soal krisis yang dihadapi etnis Muslim Rohingya. Menurutnya, krisis kemanusiaan terbesar tersebut adalah tindakan intimidasi yang diterima penduduk Rohingya.
Hal ini disampaikan Gutteres dalam pidato bertema ‘Tantangan Global, Solusi Global’ di New Delhi, India.
Sekjen PBB itu menyebut kejadian yang menimpa etnis Muslim Rohingya adalah diskriminasi terburuk yang pernah ia saksikan.
“Dalam pengalaman saya, saya belum pernah melihat sebuah komunitas yang sangat didiskriminasi seperti Rohingya,” pungkasnya, dilansir dari India Today, Rabu (03/10).
Antonio Gutteres menuturkan, penduduk Rohingya tidak memiliki hak bergerak dan menghadapi pelecehan oleh aparat dan tentara Myanmar.
Rohingya bahkan tidak bisa bergerak ketika berada di Rakhine. Mereka tidak bisa menikah tanpa izin dan anak-anaknya tidak bisa sekolah ke Yangon.
“Akses kepada kesehatan juga terbatas,” tandasnya.
Oleh karena itu, Gutteres berharap negara-negara lain dapat menekan Myanmar agar bertanggungjawab atas tindak diskriminasi itu. Khususnya India, ia berharap dapat membantu Bangladesh yang saat ini menjadi tempat tinggal sebagian besar pengungsi Rohingya.
Saat ini, meskipun banyak penduduk Rohingya yang mengungsi di Bangladesh, negara tersebut telah menegaskan tidak dapat menjadi tempat penampungan terlalu lama.
Perdana Menteri Syeikh Hasina telah meminta komunitas internasional untuk menekan Myanmar bahwa mereka harus segera menarik dan menyelamatkan hidup para pengungsi.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyatakan bahwa Myanmar menunda proses repatriasi (pemulangan kembali) para pengungsi Rohingya tanpa sebab. Hal ini disampaikan PM Hasina usai kunjungannya selama dua hari ke Nepal dalam ranga KTT BIMSTEC (Bay of Bengal Initiative for Multi-Sectoral Technical and Economic Cooperation), Blok Ekonomi tujuh negara Asia Selatan dan Asia Tenggara.
“Ketika kami berbicara, Myanmar selalu mengatakan siap untuk mengambil kembali warganya. Namun pada kenyataannya, tidak dilakukan,” ujar PM Hasina dikutip dari Andalou Ajansi, Senin (03/09).
Sheikh Hasina mengatakan, pihaknya telah membahas mengenai ratusan ribu pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh, saat bertemu dengan Presiden Myanmar Win Myint di KTT BIMSTEC. Myanmar mengakui perjanjian telah ditandatangani.
“Myanmar mengatakan mereka siap untuk mengambil kembali warga negara mereka,” ujar PM Hasina.
Desember lalu, Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian untuk memulangkan Rohingya, namun hingga kini prosesnya belum dimulai. Misi Pencari Fakta Independen PBB terhadap Myanmar mulai dibentuk pada Maret 2017 untuk menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi yang meluas di Myanmar, khususnya negara bagian Rakhine.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), pada 25 Agustus 2017, Myanmar melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap minoritas etnis Muslim. Akibatnya, hampir 24.000 warga sipil tewas serta 750.000 penduduk lainnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.[IZ]